JAKARTA, KOMPAS.com - Adanya potret suatu tanah di Jakarta memiliki enam hingga tujuh girik menjadi perhatian Pemerintah.
Bahkan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan, hal inilah yang menjadi asal mula konflik tanah, yang salah satunya disebabkan oleh masalah yuridis.
"Misalnya di Jakarta itu tumpang tindih, dimulai dari sengketa dokumen yuridis, dobel girik. Di Jakarta kadang satu objek, giriknya bisa 6 bisa 7," kata Nusron saat menghadiri talkshow Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Jakarta Selatan, Rabu (6/8/2025).
Baca juga: Kata Nusron, Satu Tanah di Jakarta Bisa Punya 7 Girik Tumpang Tindih
Masalah tersebut turut menyulitkan Kementerian ATR/BPN ketika ingin menyelesaikan konflik pertanahan.
"Sehingga kita kadang kesulitan menentukan mana yang asli. Setiap lurah berganti, menerbitkan dokumen baru. Lurah yang baru lagi, terbitkan dokumen baru lagi. Akhirnya, muncul sengketa dan konflik yang berkepanjangan. Ini dari sisi yuridis," jelasnya.
Oleh karena itu, penting untuk Anda agar mengonversi dokumen kepemilikan tanah dari girik menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Sebelum melakukan hal itu, ada baiknya jika Anda mengetahui apa yang dimaksud girik.
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR/BPN, Asnaedi pernah mengatakan bahwa sejak dahulu girik, verponding, dan bekas hak lama lainnya sebetulnya bukan merupakan alat bukti kepemilikan tanah.
"Melainkan dapat menjadi petunjuk adanya bekas kepemilikan hak atau hak adat atas sebidang tanah," ujar Asnaedi dalam keterangannya beberapa waktu lau.
Girik pertama kali dibuat pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1830-an.
Meskipun masih ada yang menggunakannya, girik kini telah digantikan oleh dokumen lain yang lebih kuat secara hukum, yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Baca juga: Girik dan Sejenisnya Tak Berlaku 2026, Bukan Berarti Tanah Akan Diambil Negara
Surat girik biasanya diterbitkan oleh kepala desa atau lurah sebagai bukti penguasaan lahan untuk keperluan perpajakan, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dokumen ini mencantumkan nomor girik atau letter C, luas tanah, nama pemilik hak atas tanah (berdasarkan warisan atau jual beli).
Girik umumnya diperoleh melalui warisan atau penguasaan lahan secara turun-temurun dari keluarga.
Bisa juga diperoleh dari transaksi dengan bukti akta jual beli (AJB) atau surat keterangan dari desa.