JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus dan Juru Bicara (Jubir) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk Undang-undang (UU) Cipta Kerja Teuku Taufiqulhadi menegaskan, Pasal 122 tentang Pengadaan Tanah sama sekali tidak membenarkan Pemerintah merampas tanah rakyat.
Hal ini meluruskan pendapat sejumlah pengamat dan politisi mengenai Pemerintah dapat semena-mena merebut tanah atau rumah rakyat.
"Pernyataan para pengamat dan politisi seperti itu sangat tendensius dan bermaksud buruk. Karena, tidak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan Pemerintah merampas tanah-tanah rakyat," kata Teuku dalam keterangannya yang diterima Kompas.com, Kamis (8/10/2020).
Menurut dia, pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dilanjutkan dan dijelaskan dalam Pasal 123 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan Pemerintah dari UU sebelumnya yakni UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Baca juga: Pengadaan Tanah Kerap Terhambat, Pemerintah Andalkan UU 2/2012
Jika ada lahan dan rumah rakyat telah bersertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum sebagaimana tercantum dalam beleid tersebut akan dilaksanakan konsultasi publik terlebih dahulu dan seluruh pihak harus sepakat.
Sementara itu, jika pemilik lahan atau rumah yang bersertipikat belum sepakat, maka Pemerintah tidak dapat membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut.
Dalam proses konsultasi publik, Pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen. Sehingga, praktek pengadaan tanah untuk kepentingan umum diklaim sangat adil.
"Harga tanah, bangunan, tanah tumbuh, penghasilan pemilik tanah, jika ada warung misalnya, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen tadi," lanjut Teuku.
Bahkan, imbuh Teuku, Pemerintah membayar harga tanah berkisar dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dari harga pasar untuk pengadaan tanah dalam pembangunan kepentingan umum.
Dengan demikian, Pemerintah dapat membangun kepentingan umum seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, kereta api, serta infrastruktur lainnya.
Namun, UU 2/2012 cenderung menimbulkan masalah karena dikenal dengan istilah ganti rugi. Menurutnya, istilah ganti rugi justru membuat masyarakat pesmistis.
Oleh karena itu, dalam UU Cipta Kerja yang mengatur soal pengadaan tanah, beberapa istilah pada UU 2/2012 aturan sebelumnya disesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.