JAKARTA, KOMPAS.com - Mohammad Danisworo. Siapa yang tidak mengenalnya? Maestro arsitektur Indonesia yang karya dan dedikasinya mewarnai perkembangan Jakarta, dan kota-kota lain Nusantara.
Tak terasa, 2018 merupakan tahun ke-53 Danisworo memperkaya khazanah arsitektur Tanah Air. Dalam usianya yang tak lagi muda, Danisworo masih memikirkan ranah yang membesarkan namanya ini.
Dalam wawancara terakhir dengan Kompas.com Senin (23/4/2018) malam, lelaki kelahiran Semarang, 2 April 1938 ini bicara tentang Jakarta, kota berbaurnya keragaman budaya, suku, agama, etnis, dan juga kepentingan.
Untuk itu, kata Danisworo, Jakarta tidak hanya direncanakan sebagai kota melainkan juga harus dirancang secara paripurna, sehingga bisa memanjakan dan memenuhi segala kebutuhan warganya.
Menurut Danisworo, Jakarta aktual belumlah bisa dikatakan berfungsi sebagai sebuah kota. Apalagi berkualitas, alih-alih menarik secara visual, dan ramah lingkungan.
"Belum fungsional, karena itu tidak bisa bicara berkualitas," ucap Danisworo.
Melalui struktur kalimat yang tertata apik, Danisworo mendasarkan penilaiannya terhadap ibu kota Indonesia ini pada tiga prinsip utama.
Ketiganya adalah kualitas fungsional, kualitas visual, dan kualitas lingkungan. Kualitas fungsional dalam arti Jakarta harus menjadi kota yang menjamin keselamatan, keamanan, kenyamanan, efektivitas dan efisien warganya dalam beraktivitas.
"Kalau saya menempuh jarak 3 kilometer membutuhkan waktu lebih dari 1 jam. Jakarta tidak berfungsi. Sebaliknya jika bisa ditempuh hanya dalam hitungan menit dengan berjalan kaki, inilah kota yang berkualitas," kata dia.
Sementara kualitas visual adalah tentang kejelasan, estetika, karakter, dan jati diri kota. Warga mudah untuk bergerak karena dipandu oleh petunjuk arah, lancar, tidak chaos.
Sedangkan kualitas lingkungan adalah bagaimana Jakarta bisa beradaptasi dengan lingkungan menyangkut iklim, ekologi, sosial, dan budaya.
Ketertarikan perancang kawasan komersial terpadu Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, ini pada arsitektur sejak berusia 16 tahun.
Saat itu, dia melihat sebuah bangunan empat lantai di sudut Jalan Sabang dan Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Hal ini mendorongnya untuk menekuni pendidikan arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB).