Yudha tak menampik bahwa rancangan tata ruang Kebayoran Baru yang dibuat pada kurun 1948 tidak bisa selamanya bertahan. Tetapi, cara-cara untuk membuat kawasan seluas 12,58 kilometer persegi ini tumbuh dan berkembang, tidak boleh seenaknya dan asal saja.
Wilayah Kebayoran Baru sebagai kota satelit dirancang oleh H Mohammad Soesilo yang merupakan murid Thomas Karsten. Dia merupakan arsitek Hindia Belanda yang ikut berkontribusi merancang Bandung, Malang, dan Bogor.
Konsep yang digunakan adalah kota taman dengan alokasi RTH sebagai ruang milik publik mendapat perhatian khusus. Dalam perkembangan aktual, di wilayah ini terdapat bangunan-bangunan komersial yang justru berdiri di atas area untuk permukiman.Pemerintah Provinsi (pemprov) DKI Jakarta, kata Yudha, harus membangun Kebayoran Baru dengan cara meningkatkan intensitas bangunan menjadi vertikal sembari tetap menjaga jumlah RTH. Bangunan yang tepat dikembangkan di Kebayoran Baru adalah medium high rise plus keberadaan RTH seoptimal mungkin.
"Kantor, dan tempat usaha (ruang komersial) dilokalisasi di tempat tertentu saja," imbuh Yudha.
Pada kenyataannya, rencana dan realisasi pembangunan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dinilai Yudha aneh. Pasalnya, kota Jakarta dibangun hanya berbasiskan pendekatan traffic semata. Contohnya Jalan Layang Non-Tol (JLNT) Antasari, JLNT Satrio, dan sekarang Jalan Layang Khusus Trans-Jakarta yang membelah Kebayoran Baru dengan mengorbankan pohon, dan bangunan-bangunan lama.
"Apakah analisis volume arus manusia atau mobil arah Ciledug-Tendean cukup penting sampai harus merusak jantung Kebayoran Baru sehingga terbelah dua dengan jalan layang atau elevated road? Ini sama anehnya dengan JLNT Antasari," tandas Yudha.
Kalau kota hanya ditentukan oleh pendekatan traffic semata, jangan harap kota Jakarta akan indah dan cantik. Yudha pun menengarai, banyak orang tidak perduli dengan perencanaan kota, kecuali terkait urusan pribadi.
Karen itu, tak mengherankan hingga saat ini struktur dan hirarki pengambilan keputusan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta masih balita. Tak tampak pengawasan, dan kendali yang mengemuka menjadi wacana publik.
Proyek-proyek pembangunan kota pun jarang jadi kepala berita atau headline kecuali iklan properti. Soal kota, soal estetika, dan soal bagaimana kota berfungsi dengan infrastruktur yang memadai, bukan obrolan yang jadi sorotan.
"Semua berjalan begitu saja sampai kita akhirnya sadar betapa buruk (how ugly) dan tak ramahnya (unfriendly) kota kita," pungkas Yudha.