Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Semakin Semrawut, Ahok Harus Konsisten

Kompas.com - 19/03/2015, 18:36 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta boleh saja masuk dalam Top 40 Global Cities versi survei Knight Frank yang dipilih oleh kalangan tajir atau ultra high net worth individuals (UNHWI) dunia sebagai kota pilihan investasi properti mewah.

Namun, untuk menjadi kota bertaraf dunia yang betul-betul nyaman dan aman didiami warganya (livable city), tunggu dulu. Ibu kota Indonesia ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pengelola kotanya. Bahkan beberapa institusi mendapuk Jakarta sebagai kota paling macet di dunia (Castrol Magnatec), dan paling tidak aman versi The Economist Intelligence Unit dalam riset yang bertajuk "EIU Safe Cities Index 2015".

Made Mahendra, seorang warga Jakarta yang tinggal di apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, mengeluhkan buruknya kondisi moda transportasi publik, Transjakarta, atau kerap dijuluki TJ. Menurut dia, TJ lebih pantas disebut dengan kepanjangan Tidak Jelas. Padahal, TJ merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengatasi kemacetan Jakarta.

"Dari awal memang sudah salah sistem, ditambah egoisme warga Jakarta, tingkah polah birokrat pemerintahan yang begitu (kerap beradu mulut). Jadi jangan salahkan jika saya yang sudah merasakan tinggal di negeri lain bawaannya selalu pengen  marah-marah kalau sedang ada di Jakarta," tutur Made, Kamis (19/3/2015).

Keluhan serupa dilontarkan Aan Mustafa, pendatang asal Surabaya yang sudah bekerja di Jakarta selama lebih satu tahun. Dia mengaku, pada awalnya berkendara dengan mobil untuk menuju kantor, setelah itu sempat beralih ke Tj selama 3 bulan.

"Namun, alih-alih menambah armada dan perbaikan layanan, yang ada saat itu adalah banyak pencopet. Saya menyaksikan penumpang berteriak karena kecopetan lima kali selama 2014. Selain itu, waktu menunggu sangat tidak bersahabat, cara mengemudi sopir yang tidak bikin penumpang nyaman, dan perilaku penumpang," papar Aan.

Akhirnya, dalam enam bulan terakhir, Aan kemudian beralih menggunakan kendaraan roda dua. Menurutnya kendaraan ini merupakan solusi yang tepat untuk sementara. "Kata kuncinya, Jakarta macet karena tidak ada transportasi massal yang nyaman," tandas Aan.

Sementara Fajar Muhasan yang kerap bertandang ke Jakarta untuk urusan bisnis, berpendapat, Jakarta menjadi semakin semrawut dan tidak karuan karena para pemimpinnya (Gubernur, dan DPRD) lebih banyak "berantem", sehingga lupa dengan pekerjaan utama mengelola kota.

"Jika Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) sibuk berantem dan mempertahankan mati-matian anggaran belanja dan pendapatan daerah dari serangan DPRD, harusnya wakilnya yang turun untuk memperbaiki layanan yang dapat langsung dirasakan warga. Tapi (melihat kondisi sekarang) ya sudahlah. Saya bukan warga Jakarta jadi cuma bisa ngedumel terhadap layanan publik," tutur Fajar.

Jika harus membandingkan dengan kota lain, macam Kuala Lumpur, Malaysia, Jakarta sangat tidak pantas masuk dalam jajaran kota dunia. Kesemrawutan, dan ketidaktertiban kota dengan populasi siang hari lebih dari 12 juta jiwa ini dianggap sudah keterlaluan.

"Di banyak sisi terutama infrastruktur dan fasilitas publik, Jakarta dipecundangi sama anak ingusan kemarin sore bernama Kuala Lumpur," lontar bankir yang bekerja di Bank Mandiri, Yudi Uup Ariefianto.

Bukan kerja instan

Terhadap semua persoalan yang kompleksitasnya semakin intensif itu, Head of Research Knight Frank Indonesia, Hasan Pamudji, menyarankan manajer kota Jakarta untuk menunjukkan komitmennya secara sungguh-sungguh dengan menerapkan langkah-langkah pendukung, supaya Jakarta tak hanya seksi bagi investor properti mewah, melainkan juga dicintai warganya.

"Pemerintahan yang bersih dan transparan sangat diperlukan. Karena itu, apa yang sekarang sedang dirintis, harus berlanjut dan konsisten. Selain itu, perlu perbaikan berkala drainase-drainase kota. Jangan hanya saat hujan dan bajir. Juga perbaikan transportasi publik, kepastian hukum kepemilikan, sistem perizinan, perpajakan dan perlindungan warganya," saran Hasan.

Memang, membenahi Jakarta tak cukup hanya dalam setahu, dan tidak bisa instan. Karena problem Jakarta, terutama kemacetan merupakan akumulasi masalah puluhan tahun. Seharusnya para gubernur, dan oemimpin terdahulu melakukan tugasnya dengan benar sehingga tidak terjadi tumpukan masalah besar seperti saat ini.

Praktisi pengembangan kawasan, Hiramsyah Sambudhy Thaib, menegaskan, adalah tidak adil menyalahkan Gubernur DKI Jakarta, siapa pun yang saat ini menjabat. Karena kota ini membutuhkan seorang gubernur yang hebat dan mampu melakukan terobosan dalam bentuk kebijakan publik yang bisa membereskan sesegera mungkin masalah Jakarta.

"Salah satu problem utama yang juga tidak mudah adalah semua hal tersebut harus dilakukan secara simultan dan paralel. Termasuk membereskan kualitas birokrasi (jajaran Pemprov) yang juga pasti sangat sulit karena akan mendapatkan perlawanan-perlawanan dan resistensi tinggi," ujar Hiramsyah.

Dia melanjutkan, semua warga Jakarta menderita karena banjir, dan kemacetan yang semakin parah. Masalah yang demikian kompleks membutuhkan waktu panjang untuk diselesaikan.

"Saya pribadi melihat sudah banyak sekali upaya-upaya strategis dan terobosan yang dilakukan, seperti dimulainya pembangunan mass rapid transit (MRT) yang selesai tahun 2018,  sistem transportasi umum terpadu termasuk kerjasama Pemprov DKI dengan PT KAI, kerjasama tata ruang dengan daerah penyangga Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jadebotabekpunjur), debagai terobosan strategis," jelas Hiramsyah.

Untuk kota sebesar Jakarta, tambah Hiramsyah, problem-problem seperti kemacetan harus dengan sistem transportasi umum massal berbasis rel. Ini yang sedang dirintis dan akan menjadi fasilitas publik di masa yang akan datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com