JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta menempati peringkat 88 dalam indeks kota berkelanjutan Arcadis atau Sustainable Cities Index 2016 rilisan Arcadis.
Indeks kota berkelanjutan Arcadis 2016 mengumpulkan 100 kota di dunia untuk dikelompokkan dari yang paling berkelanjutan hingga paling tidak berkelanjutan.
Posisi Jakarta hanya unggul dari kota-kota macam Chennai, Johannesburg, Bengaluru, Mumbai, Chengdu, Wuhan, Cape Town, Manila, New Delhi, Nairobi, Kairo, dan Kolkata.
Ditempatkannya Jakarta dalam 15 besar terbawah kota berkelanjutan tak terlepas dar jarak cukup lebar antara pengembangan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan kota.
"Maka dari itu, kota-kota yang secara besar-besaran telah meningkat ekonominya dan kualitas hidupnya berada di posisi atas sedangkan kota yang masih mengembangkan ekonominya cenderung ada di bagian bawah indeks," tulis Arcadis.
Indeks kota berkelanjutan Arcadis ini mengeksplorasi tiga permintaan terhadap People, Planet, dan Profit untuk mengembangkan sebuah peringkat indikatif terhadap 100 kota-kota di dunia.
Adapun sub-indeks pengukuran People berdasarkan infrastruktur transportasi, kesehatan, edukasi, ketidaksamaan pendapatan, keseimbangan kehidupan kerja, rasio ketergantungan dan ruang hijau di dalam kota.
Indikator ini dapat secara luas dianggap sebagai upaya menangkap kualitas hidup untuk warganya di kota masing-masing.
Sementara sub-indeks Planet melihat pada konsumsi energi kota, pembagian energi terbarukan, siklus daur ulang, emisi gas rumah kaca, risiko bencana alam, ketersediaan air minum, sanitasi, dan tingkat polusi udara.
Sedangkan sub-indeks Profit melihat performa kota dalam hal perspektif bisnis, penggabungan sistem transportasi, kemudahan melakukan bisnis, keterlibatan kota dalam jaringan ekonomi global, kepemilikan properti, biaya hidup, produk domestik bruto (PDB) per kapita, dan efisiensi energi.
Arcadis menilai bahwa kota-kota di 15 besar terbawah termasuk Jakarta masih fokus pada sub-indeks Profit dan mengabaikan dua sub-indeks lainnya yakni People dan Planet.
Salah satu indikator pada sub-indeks People yang tidak diakomodasi Jakarta adalah infrastruktur transportasi.
Saat ini, pembangunan infrastruktur transportasi di Jakarta malah dianggap salah arah karena hanya menstimulasi kemacetan.
Padahal semestinya hal itu justru diharapkan mampu mengurai kemacetan yang terjadi.
"Pembangunan jalan baru dan peningkatan terhadap sarana untuk kendaraan bermotor saat ini malah merangsang penggunaan mobil atau kendaraan pribadi lainnya yang mengakibatkan masalah ekonomi dan lingkungan," ucap Asisten Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Transportasi Sunardi M Sinaga, kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.