Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Masuk Daftar Kota Tidak Berkualitas

Kompas.com - 21/09/2016, 23:00 WIB
Ridwan Aji Pitoko

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta menempati peringkat 88 dalam indeks kota berkelanjutan Arcadis atau Sustainable Cities Index 2016 rilisan Arcadis.

Indeks kota berkelanjutan Arcadis 2016 mengumpulkan 100 kota di dunia untuk dikelompokkan dari yang paling berkelanjutan hingga paling tidak berkelanjutan.

Posisi Jakarta hanya unggul dari kota-kota macam Chennai, Johannesburg, Bengaluru, Mumbai, Chengdu, Wuhan, Cape Town, Manila, New Delhi, Nairobi, Kairo, dan Kolkata.

Ditempatkannya Jakarta dalam 15 besar terbawah kota berkelanjutan tak terlepas dar jarak cukup lebar antara pengembangan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan kota.

"Maka dari itu, kota-kota yang secara besar-besaran telah meningkat ekonominya dan kualitas hidupnya berada di posisi atas sedangkan kota yang masih mengembangkan ekonominya cenderung ada di bagian bawah indeks," tulis Arcadis.

KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO Kemacetan lalu lintas di Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (01/10/2012). Guburnur DKI Jakarta, Joko Widodo berencana mengatasi kemacetan Jakarta dengan menyiapkan infrastruktur MRT, monorel, busway, serta pajak parkir dan pajak beli mobil yang tinggi.

Indeks kota berkelanjutan Arcadis ini mengeksplorasi tiga permintaan terhadap People, Planet, dan Profit untuk mengembangkan sebuah peringkat indikatif terhadap 100 kota-kota di dunia.

Adapun sub-indeks pengukuran People berdasarkan infrastruktur transportasi, kesehatan, edukasi, ketidaksamaan pendapatan, keseimbangan kehidupan kerja, rasio ketergantungan dan ruang hijau di dalam kota.

Indikator ini dapat secara luas dianggap sebagai upaya menangkap kualitas hidup untuk warganya di kota masing-masing.

Sementara sub-indeks Planet melihat pada konsumsi energi kota, pembagian energi terbarukan, siklus daur ulang, emisi gas rumah kaca, risiko bencana alam, ketersediaan air minum, sanitasi, dan tingkat polusi udara.

Sedangkan sub-indeks Profit melihat performa kota dalam hal perspektif bisnis, penggabungan sistem transportasi, kemudahan melakukan bisnis, keterlibatan kota dalam jaringan ekonomi global, kepemilikan properti, biaya hidup, produk domestik bruto (PDB) per kapita, dan efisiensi energi.

www.shutterstock.com Ilustrasi

Arcadis menilai bahwa kota-kota di 15 besar terbawah termasuk Jakarta masih fokus pada sub-indeks Profit dan mengabaikan dua sub-indeks lainnya yakni People dan Planet.

Salah satu indikator pada sub-indeks People yang tidak diakomodasi Jakarta adalah infrastruktur transportasi.

Saat ini, pembangunan infrastruktur transportasi di Jakarta malah dianggap salah arah karena hanya menstimulasi kemacetan.

Padahal semestinya hal itu justru diharapkan mampu mengurai kemacetan yang terjadi.

"Pembangunan jalan baru dan peningkatan terhadap sarana untuk kendaraan bermotor saat ini malah merangsang penggunaan mobil atau kendaraan pribadi lainnya yang mengakibatkan masalah ekonomi dan lingkungan," ucap Asisten Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Transportasi Sunardi M Sinaga, kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Kompas.com/Alsadad Rudi Antrian kendaraan roda empat yang hendak keluar dari Tol Dalam Kota dari pintu tol Semanggi, Selasa (21/6/2016). Terlihat kondisi ini membuat perjalanan bus transjakarta menjadi tersendat.

Selain itu, ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta saat ini masih jauh dari standar yang seharusnya.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 tahun 2007, setiap daerah di Indonesia diwajibkan memiliki RTH sebesar 30 persen dari luas kota dengan rincian RTH privat 10 persen dan RTH publik 20 persen.

Sementara itu, Jakarta, diakui oleh Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar Muadzin Mungkasa, baru memiliki RTH sekitar 9-10 persen.

Menurut konsultan RTH dan arsitek lansekap Nirwono Joga, sebanyak 80 persen kawasan, permukiman, dan komersial di wilayah Jakarta dianggap "mengangkangi" RTH.

KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES Ruang terbuka hijau di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (16/2/2015). Area yang dulu sempat menjadi kawasan padat penduduk ini sekarang sudah berubah menjadi area taman kota.

Nirwono menayatakan bahwa pelanggaran terhadap RTH dilakukan dalam berbagai cara dan variasi pengembangan.

Mulai dari permukiman yang dibangun di atas bantaran kali hingga konversi taman menjadi bangunan beton komersial.

Oleh sebab itu, tak heran jika RTH di Jakarta terus berkurang secara periodik. Pada 1985, RTH Jakarta mulai berkurang menjadi 25,85 persen hingga pada 2000 lalu terus menyusut menjadi hanya 9 persen.

Meski sempat bertambah menjadi 9,8 persen pada tahun 2010 dan 9,9 persen pada tahun lalu, tetap saja belum memenuhi angka ideal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau