Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompasianer Akhlis Purnomo

Blogger Kompasiana bernama Akhlis Purnomo adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Jebakan Kuantitas dalam Inkubasi "Start-up"

Kompas.com - 01/09/2016, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

 

Dunia start-up Indonesia terus menggeliat. Salah geliat itu berwujud "Gerakan 1000 Start-up”. Dicanangkan 17 Juni lalu oleh Kibar Kreasi, gerakan ini mengantongi dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

Tujuan utamanya ialah membuat sebanyak mungkin usaha rintisan di bidang teknologi (start-up) dalam waktu 5 tahun yang tidak hanya terkonsentrasi di ibu kota, melainkan juga kota-kota besar di seluruh pelosok nunsantara. Target valuasi start-up yang nantinya dihasilkan juga tidak main-main, 10 miliar dollar AS!

Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia akan diarahkan sebagai negara digital yang setidaknya menjadi kiblat perkembangan teknologi digital di kawasan Asia Tenggara.

Sayangnya, niat menggenjot sokongan terhadap peningkatan ekosistem usaha rintisan digital kebanyakan masih berupa rentetan janji-janji manis yang belum direalisasikan. Misalnya janji Jokowi untuk menyediakan alokasi pinjaman lunak Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan janji penyediaan sebuah pusat riset khusus di Kementerian Komunikasi dan Teknologi.

Mengetahui semua itu, saya teringat pada sebuah diskusi tahun 2012 yang dimoderatori jurnalis AS Donald Frazier dan menghadirkan beberapa pegiat entrepreneurship digital di tanah air, yakni Andy Zain yang mewakili kelompok venture capitalist dan Toto Siguri serta Rama Mamuaya sebagai representasi entrepreneur.

Diskusi dipenuhi dengan berbagai masukan untuk para pemangku kepentingan dalam ekosistem entrepreneurship digital dan start-up di nusantara yang memang belum terbangun baik.

Indonesia tidak bisa mentah-mentah menyalin dan meniru cara-cara dari Silicon Valley karena ia adalah ekosistem yang sangat unik (setiap ekosistem pasti memiliki keunggulan dan tantangannya masing-masing). Namun, Indonesia juga masih belum menemukan jati dirinya sehingga masih terkesan sebagai ‘anak baru gede’ yang membutuhkan panutan/idola yang ia anggap sudah lebih sukses.

Saat itu kami masih menyoroti bagaimana pemerintah dan para entrepreneur serta start-up masih terkesan berjalan sendiri-sendiri. Saya bahkan masih ingat saat itu Rama mengatakan bahwa para entrepreneur sudah bersyukur jika pemerintah tidak ‘mengganggu’ usaha mereka dengan menciptakan batasan-batasan (barrier) berupa aturan-aturan hukum yang terlalu mengikat dan kolot, seperti diperlakukannya start-up sama dengan UMKM yang wajib memiliki kantor fisik dan pembebanan pajak.

Akibatnya, kebanyakan start-up saat itu masih harus bergerilya dan lebih menganggap pemerintah sebagai ‘big brother’ yang perlu dicurigai dan dihindari. Dalam banyak kesempatan, saya juga menyaksikan bagaimana para entrepreneur digital dan pemerintah masih belum memiliki kesatuan dalam visi, misi dan tujuan.

Entrepreneur-entrepreneur ingin ke arah A sementara pemerintah punya agenda B sehingga meskipun banyak acara-acara seremonial yang dihelat oleh kedua belah pihak, ujungnya belum ada tindak lanjut nyata yang berdampak signifikan pada pembangunan ekosistem entrepreneurship digital.

Saya sendiri meragukan adanya sebuah cetak biru (blueprint) dan peta jalan (roadmap) yang disepakati dan dipatuhi dengan penuh disiplin oleh kedua pihak.

Selang 4 tahun kemudian, untungnya sudah mulai ada kemajuan dalam jajaran pemerintahan dan birokrat. Pemerintah yang sekarang lebih memiliki iktikad dan inisiatif untuk mengakomodasi aspirasi entrepreneur dan mengajak mereka bersama-sama untuk maju.

Hanya, yang saya cemaskan ialah risiko terjebak pada angka-angka dan pengabaian kualitas. Target kuantitatif yang dengan lantang dikampanyekan itu bisa menjadi bumerang karena indikator kesuksesan lebih pada perolehan angka saja. Padahal peran aspek kualitas sama krusialnya.

Saya bukan anti inkubator atau akselerator start-up karena saya tidak menampik kenyataan bahwa ada manfaat yang tidak sedikit jika masuk dalam program semacam itu bagi para entrepreneur.

Infrastruktur kerja (fasilitas kantor/ruang kerja sewaan yang murah, contohnya), jejaring bisnis yang lebih luas (karena Anda akan dipertemukan dengan banyak VC dan entrepreneur lain), akses ke banyak mentor dan guru, serta koneksi ke angel investors (para individu penyedia modal bisnis) dan venture capitalists (lembaga penyedia dana untuk start-up).

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau