Dunia start-up Indonesia terus menggeliat. Salah geliat itu berwujud "Gerakan 1000 Start-up”. Dicanangkan 17 Juni lalu oleh Kibar Kreasi, gerakan ini mengantongi dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Tujuan utamanya ialah membuat sebanyak mungkin usaha rintisan di bidang teknologi (start-up) dalam waktu 5 tahun yang tidak hanya terkonsentrasi di ibu kota, melainkan juga kota-kota besar di seluruh pelosok nunsantara. Target valuasi start-up yang nantinya dihasilkan juga tidak main-main, 10 miliar dollar AS!
Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia akan diarahkan sebagai negara digital yang setidaknya menjadi kiblat perkembangan teknologi digital di kawasan Asia Tenggara.
Sayangnya, niat menggenjot sokongan terhadap peningkatan ekosistem usaha rintisan digital kebanyakan masih berupa rentetan janji-janji manis yang belum direalisasikan. Misalnya janji Jokowi untuk menyediakan alokasi pinjaman lunak Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan janji penyediaan sebuah pusat riset khusus di Kementerian Komunikasi dan Teknologi.
Mengetahui semua itu, saya teringat pada sebuah diskusi tahun 2012 yang dimoderatori jurnalis AS Donald Frazier dan menghadirkan beberapa pegiat entrepreneurship digital di tanah air, yakni Andy Zain yang mewakili kelompok venture capitalist dan Toto Siguri serta Rama Mamuaya sebagai representasi entrepreneur.
Diskusi dipenuhi dengan berbagai masukan untuk para pemangku kepentingan dalam ekosistem entrepreneurship digital dan start-up di nusantara yang memang belum terbangun baik.
Indonesia tidak bisa mentah-mentah menyalin dan meniru cara-cara dari Silicon Valley karena ia adalah ekosistem yang sangat unik (setiap ekosistem pasti memiliki keunggulan dan tantangannya masing-masing). Namun, Indonesia juga masih belum menemukan jati dirinya sehingga masih terkesan sebagai ‘anak baru gede’ yang membutuhkan panutan/idola yang ia anggap sudah lebih sukses.
Saat itu kami masih menyoroti bagaimana pemerintah dan para entrepreneur serta start-up masih terkesan berjalan sendiri-sendiri. Saya bahkan masih ingat saat itu Rama mengatakan bahwa para entrepreneur sudah bersyukur jika pemerintah tidak ‘mengganggu’ usaha mereka dengan menciptakan batasan-batasan (barrier) berupa aturan-aturan hukum yang terlalu mengikat dan kolot, seperti diperlakukannya start-up sama dengan UMKM yang wajib memiliki kantor fisik dan pembebanan pajak.
Akibatnya, kebanyakan start-up saat itu masih harus bergerilya dan lebih menganggap pemerintah sebagai ‘big brother’ yang perlu dicurigai dan dihindari. Dalam banyak kesempatan, saya juga menyaksikan bagaimana para entrepreneur digital dan pemerintah masih belum memiliki kesatuan dalam visi, misi dan tujuan.
Entrepreneur-entrepreneur ingin ke arah A sementara pemerintah punya agenda B sehingga meskipun banyak acara-acara seremonial yang dihelat oleh kedua belah pihak, ujungnya belum ada tindak lanjut nyata yang berdampak signifikan pada pembangunan ekosistem entrepreneurship digital.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.