Upah pekerja konstruksi yang jasanya dimanfaatkan untuk membangun gedung-gedung komersial di wilayah DKI Jakarta macam pusat belanja, hotel, apartemen, dan perkantoran, sudah menembus level Rp 220.000 per hari. Angka sebesar ini dikenakan untuk tukang bangunan dengan keahlian minimum.
Sementara upah untuk tukang bangunan dengan keahlian madya atau di atasnya bisa mencapai Rp 300.000 per hari. Bahkan, pekerjaan yang membutuhkan pemahaman teknologi, ketelitian, dan presisi, macam instalasi komponen M&E, bisa lebih mahal lagi.
Direktur PT Triyasa Propertindo, Budi Lesmana, mengungkapkan hal tersebut kepada Kompas.com, Jumat (7/8/2015).
Menurut Budi, tingginya upah tukang bangunan tersebut mengacu pada ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2015 sebesar Rp 2,7 juta per bulan. Selain itu, tren bajak membajak tukang bangunan di antara sesama pengembang, dan kontraktor ikut berkontribusi terhadap meroketnya upah mereka.
Sementara, di sisi lain pasokan tukang bangunan dengan keahlian tertentu terbatas. Mereka berasal dari Pulau Jawa. Terbatasnya ketersediaan pekerja konstruksi inilah yang mendorong terjadinya praktik bajak membajak di dunia konstruksi dan properti.
Harga jual
Pada gilirannya, tingginya ongkos konstruksi tersebut mendongkrak harga jual properti. Gran Rubina Business Park, contohnya. Kompleks perkantoran di kawasan Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, ini dibanderol seharga Rp 42 juta per meter persegi.
Padahal, saat dipasarkan pada 2013 silam, harga jual perdananya hanya rp 27,5 juta per meter persegi.
"Kami memang sudah merencanakan perubahan harga berbasis pada jumlah ruang yang terjual. Namun, ketika ongkos konstruksi melonjak gila-gilaan, harga jual yang sudah ditetapkan dalam businss plan pun mengalami perubahan signifikan," tandas Budi.