Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Tidak Becus "Ngurus" Fasum dan Fasos

Kompas.com - 12/05/2014, 14:24 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah kewajiban penyediaan fasilitas umum (fasum), dan fasilitas sosial (fasos) yang diangkat kembali oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, justru menuai kritikan para pengamat perkotaan.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dinilai gagap mengurus fasum dan fasos. Bahkan, regulasi dan perangkat untuk mengatur serah terima aset fasum dan fasos yang telah dibangun pengembang pun, belum tersedia. Wajar bila kemudian terjadi silang sengkarut di antara Pemprov DKI Jakarta selaku regulator, dan pengembang.

Sejatinya, penyediaan fasum dan fasos tersebut merupakan kewajiban semua pengembang yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Demikian halnya dengan pengembang kawasan terpadu Rasuna Epicentrum yang ditengarai sebagai penunggak fasum fasos.

Mereka mengembangkan blok-blok apartemen, perkantoran, pusat belanja, dan ruang-ruang komersial lainnya di atas lahan seluas 53 hektar di koridor Kuningan, Jakarta Selatan. Selain konsesi Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) seluas itu, pada 2007 mereka melakukan konversi lahan taman pemakaman umum (TPU) Kasablanka menjadi akses masuk kawasan.

Mereka mengubah fungsi lahan setelah mengantongi izin dari Kepala Dinas Tata Ruang saat itu yakni Wiriyatmoko. Mestinya, dengan SIPPT luas dan properti sebanyak itu, jumlah fasum dan fasosnya pun seharusnya disesuaikan dengan jumlah properti dan penghuni yang beraktivitas serta tinggal di properti-properti tersebut.

Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, dalam kenyataannya, fasum dan fasos tidak memadai. Termasuk yang sangat krusial yakni TPU dan taman kota. Hanya saja, kita harus melihatnya dari dua sisi. Pemprov DKI Jakarta juga tidak siap melakukan serah terima aset fasum dan fasos yang telah dibangun pengembang.

Pemprov DKI Jakarta tidak mau menerima dengan alasan fasum dan fasos yang dibangun pengembang tidak sesuai dengan standard yang telah ditetapkan. Selain itu, masalah besar lainnya adalah, pihak yang paling bertanggung jawab menerima fasum dan fasos sampai saat ini tidak jelas.

"Pemprov DKI Jakarta sangat tidak siap menerima. Internalnya masih bermasalah. Selain tidak ada aturan dan sanksi, investarisasi aset juga tidak ada, perangkat lain nihil, apalagi standard operational procedure (SOP). Jadi, bagaimana pengembang mau menyerahkan aset bila Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak siap? Jangan hanya mengejar tunggakan pengembang, DKI juga harus tahu diri," kata Yayat.

Padahal, kata Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, tunggakan fasum dan fasos akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat serta tidak berjalannya rencana peruntukan fungsi lahan dan target rasio pelayanan fasum dan fasos. Oleh karena itu, penertiban disiplin integrasi fasum fasos dari pengembang ke Pemerintah Provinsi DKI harus sejalan dan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota.

"Saya kira permasalahannya hanya pada aspek serah terima yang harus berjalan parsial, seiring pertumbuhan pembangunan kawasan yang dilakukan pengembang. Dengan demikian, integrasi jumlah fasum dan fasos bisa terukur, dan aktual, tanpa harus menunggu semua kawasan proyek pengembang selesai. Kalau ini dilakukan, maka mungkin angka ketimpangan ketersediaan fasum dan fasos dapat berkurang," urai Bernardus kepada Kompas.com, Senin (12/5/2014).

Selain itu, Dinas Tata Ruang Kota harus mampu membuat proyeksi yang akurat perihal kebutuhan fasum dan fasos dan menjabarkannya dalam RDTR, serta menempatkannya dalam posisi peta rencana. Apalagi kalau skala pengembangnya besar maka logikanya persetujuan site plan sudah termasuk dalam proyeksi ini.

"Kalau serah terimanya parsial sesuai perkembangan, maka akan ada progres. Dalam hal pengembang sendiri, logikanya tidak ada proyek pengembang yang tidak ada fasum fasosnya, karena tidak akan laku. Nah, aturan sanksinya kan tidak ada, maka harus diserahterimakan parsial sesuai kemajuan proyeknya," imbuh Bernardus.

Jakarta, lanjut dia, melalui Wakil Gubernur Basuki perlu terus mengembangkan dialog dengan pengembang, supaya realisasi serah terima posisinya pasti. Selain itu, ke dalam, Basuki juga harus melakukan pelurusan dan peningkatan kapasitas birokrasi di bawahnya agar mampu melakukan serah terima tepat waktu. Molornya serah terima aset fasum dan fasos inilah yang jadi masalah. Kalau ini diperbaiki, maka akan mengurangi dampak politis dari ketersediaan fasum dan fasos berjalan.

"Supremasi dokumen produk rencana dan konsistensi pelaksanaan di lapangan oleh Gubernur DKI, Wagub dan jajarannya akan menjadi kriteria utama kinerja dalam membangun kota yang layak huni sesuai kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam Perda RTRW," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com