Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mutlak, Kebijakan LTV Harus Ditinjau Ulang!

Kompas.com - 19/03/2014, 06:38 WIB
Latief

Penulis

MAKASSAR, KOMPAS.com - Kepala Departemen Makro Prudensial Bank Indonesia, Darsono, mengatakan, kebijakan loan to value (LTV) berdasarkan ukuran rumah masih harus dikaji. Tujuan LTV adalah mengurangi pemanasan sektor properti (overheated) sehingga stabilitas makro terjaga ketat dari inflasi tanpa harus menyulitkan pengembang untuk produktif.

"Inflasi di Papua itu paling tinggi di Indonesia. Masalahnya, kenaikannya melebihi Pulau Jawa. Misalnya, di Pulau Jawa 5 persen, tapi di Papua 15 persen. Kalau inflasi rendah, maka suku bunga rendah sehingga pengembang bisa membangun dan hasilnya diserap pasar," ujar Darsono pada acara Investor Forum dalam rangka HUT ke-42 Realestat Indonesia (REI) di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (18/3/2014).

Pendapat tersebut diperkuat Ketua DPP REI, Eddy Hussy. Ia berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan LTV dan KPR inden. Eddy mengatakan, ada 170 produk industri terkait properti. Di sisi lain, dari jumlah total anggota REI yang saat ini mencapai 2.500 pengembang, sebanyak 75 persennya adalah pengembang rumah sejahtera tapak atau hunian bersubsidi untuk mendukung program pemerintah.

"Maka, sudah seharusnya industri perumahan didukung pemerintah, karena produk dan konsumennya juga didominasi oleh kalangan domestik," ujar Eddy.

Menanggapi hal itu, Direktur Ciputra Development, Tulus Santoso, mengakui bahwa pengembang saat ini terpengaruh efek LTV dan KPR inden. Saat ini, angka backlog sebesar 14 juta tidak akan berkurang tanpa peran seluruh pemangku kebijakan.

"Banyak yang butuh rumah, tapi tidak ada daya beli. LTV akan menambah panjang backlog. BI mesti pertimbangkan LTV rumah pertama. Kalau untuk rumah kedua dan seterusnya kami setuju," ujar Tulus.

"Kami harus bayar pajak dari deposito, kemudian PPN 10 sepuluh persen dan Pph 5 persen, padahal kami hanya terima bunga 7 persen. Ini jelas membuat harga rumah naik dan daya beli konsumen turun dan pada akhirnya menambah angka backlog," tambahnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau