Desain biophilic (banyak tanaman, cahaya alami) lagi hits, cocok buat hunian urban di Jabodetabek.
3. Pastikan Komunikasi Nyambung
Arsitek yang baik adalah yang dengar keinginanmu, bukan cuma ngotot sama idenya sendiri. Gen Z suka komunikasi cepat via WhatsApp atau Zoom, jadi pilih arsitek yang responsif dan open buat diskusi.
Menurut Properti Indonesia (2024), 80 persen klien puas kalau arsitek jelasin desain dengan visual 3D atau mood board.
Ketemu langsung atau virtual buat tes chemistry. Kalau udah nggak nyambung dari awal, mending cari yang lain.
4. Cek Pengalaman dan Spesialisasi
Arsitek dengan pengalaman lebih dari 5 tahun biasanya lebih jago menangani masalah lapangan, seperti koordinasi dengan kontraktor atau atasi keterbatasan lahan.
Tanyakan spesialisasi mereka: rumah tinggal, apartemen, atau komersial? Buat rumah subsidi dekat KRL (contoh: Citra Maja Raya, 550 meter dari Stasiun Maja), pilih arsitek yang paham desain kompak dan efisien.
Cari yang pernah menangani proyek di lokasi serupa. Misal, arsitek di Bekasi biasanya paham regulasi bangunan dekat jalur KRL.
5. Pahami Struktur Biaya
Biaya arsitek bervariasi sekitar 3-7 persen dari total biaya proyek atau flat rate (Rp 10 juta-Rp 50 juta, tergantung kompleksitas).
Untuk rumah subsidi (Rp 168 juta-Rp 300 juta), cari arsitek yang mau kerja dengan budget minim. Tanyakan apa saja yang termasuk: desain, RAB, atau pengawasan proyek?
Minta rincian kontrak tertulis, termasuk revisi desain (biasanya 2-3 kali gratis). Hindari arsitek yang nggak transparan soal biaya.
Banyak arsitek tawarkan paket hemat untuk Gen Z, seperti desain digital-only tanpa pengawasan, mulai Rp 5 juta.
6. Cari yang Paham Regulasi Lokal