JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akan memberikan insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor selama sembilan bulan mulai Maret 2021.
Insentif ini berupa pembebasan, diskon PPnBM, serta DP 0 atas kendaraan bermotor yang bertujuan menstimulasi konsumsi kelompok masyarakat menengah-atas.
Keluarnya kebijakan ini membuat para pengembang mendesak Pemerintah agar memberikan insentif serupa pada sektor properti.
Hal ini sebagaimana diutarakan Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida kepada Kompas.com, Selasa (17/2/2021).
Baca juga: Mobil Baru Bebas Pajak, Pengembang Menjerit Desak Pemerintah Berikan Insentif Properti
"Saya tidak menyalahkan pemberian insentif keringanan pajak ke mobil, tetapi ya perhatikan juga (ke) sektor properti. Kasih juga allowance, relaksasi," tegas Totok.
Totok menegaskan, sama sekali tidak keberatan dengan adanya kebijakan insentif pajak kendaraan tersebut.
Namun demikian, properti juga membutuhkan perhatian lebih karena sektor ini merupakan kebutuhan primer dan mendasar bagi masyarakat.
"Nah ini kenapa tidak diperhatikan. Saya bukan cemburu, tapi orang pasti lebih memilih kebutuhan primer dulu daripada kebutuhan lainnya," lanjut dia.
Selain sebagai kebutuhan primer, properti terutama rumah juga merupakan salah satu lokomotif perekonomian.
Baca juga: Harga Rumah Naik Tipis
Melihat kondisi ini, Totok dengan tegas mendesak Pemerintah memberikan sejumlah keringanan pajak di sektor properti selama pandemi Covid-19 berlangsung.
Keringanan pajak tersebut berupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 5 persen dari sebelumnya 10 persen, serta Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) menjadi 2,5 persen dari harga rumah, sebelumnya 5 persen.
"Sekarang, sektor properti itu lagi kesulitan. Termasuk pusat perbelanjaan yang sepi karena operasional dibatasi tetapi mereka mesti bayar pajak sewa sebesar 10 persen," ucap Totok.
Kendati sektor properti dianggap sebagai kebutuhan dasar, namun justru banyak dari masyarakat terutama milenial yang mengalami kesulitan dalam mengaksesnya.
Contohnya, Sri Noviyanti. Perempuan berusia 31 tahun itu membeli rumah pada tahun 2017 seharga Rp 470 juta yang menurutnya sesuai kemampuan keuangannya.
"Enaknya rumah baru sih, pihak pengembang mengusahakan banget ya bank mana yang kira-kira bisa approve kita," tuntas Novi.
Dia menjelaskan, pada tahun pertama, harus membayar uang tanda jadi atau booking fee sebesar Rp 5 juta.
Kemudian, pengembang memberikan fasilitas uang muka sebesar 15 persen atau sekitar Rp 70,5 juta yang bisa dicicil selama setahun.
Selanjutnya, Novi membayar cicilan per bulan Rp 4,1 juta dan tenor selama 15 tahun.
Baca juga: 5 Pilihan Rumah Subsidi, Lokasi Jabodetabek, Cicilan Mulai Rp 800.000 Per Bulan
Jika dikumulasikan, uang yang harus dikeluarkan oleh Novi dalam setahun pertama adalah Rp 124,7 juta. Itu pun dengan catatan, di luar biaya-biaya seperti administrasi dan provisi KPR, dan BPHTB.
Tentu saja jumlah ini sangat besar untuk milenial seperti Novi. Terlebih, dia sempat ditipu pengembang apartemen sebelumnya, dan merelakan uang jutaan rupiah hasil menabung bertahun-tahun.
Sementara itu, Roderick Adrian Mozes juga memiliki kendala untuk mendapatkan rumah idamannya.
Ricky, panggilan sapaaannya, mengaku sulit mengumpulkan uang muka rumah karena baru bekerja selama 5 tahun dengan gaji pas-pasan.
"Sehingga, untuk kumpulin dana buat DP itu cukup lama," tutur Ricky.
Beruntungnya, Ricky yang berprofesi sebagai fotografer ini memiliki rezeki berlebih karena menang dalam perlombaan dan dipakai untuk menambah uang muka rumah.
Meski begitu, dia juga telah menyisihkan dana yang bersumber dari bonus tahunan maupun Tunjangan Hari Raya (THR) yang dipakai untuk uang muka.
Kendati telah memiliki uang muka, perjuangannya belum terhenti sampai di situ.
Ricky masih dihadapkan dengan peraturan pembayaran uang muka 30 persen dari harga jual rumah pada awal transaksi yang menurutnya terlalu tinggi.
"Jadi, harus pintar cari pengembang yang berani kasih DP di bawah 30 persen," tutur dia.
Akhirnya, dia mendapatkan pengembang yang mau memberikan DP sekitar 5 persen.
Karena anggarannya terbatas, Ricky akhirnya memilih rumah tipe 36/72.
Agar cicilan terus dapat dibayar setiap bulannya, Ricky selalu menyisihkan uang pada hari pertama gajian untuk tidak bisa diganggu gugat.
"Jadi, hari pertama gajian uang sudah berkurang banyak untuk cicilan rumah," tutur dia.
Ricky membeli rumah pada tahun 2015 seharga Rp 350 juta. Uang muka yang harus dibayar sekitar Rp 18 juta-19 juta, booking fee 2,5 juta, cicilan flat selama 5 tahun pertama senilai Rp 1,7 juta, dengan tenor 15 tahun.
Berbeda halnya dengan Fauzan Azima (27) yang tidak memiliki kendala berarti karena yang dia beli adalah rumah subsidi seharga Rp 170 juta pada akhir November 2020.
Meski demikian, Fauzan harus menabung terlebih dahulu demi membayar uang muka sebesar Rp 9 juta dan Rp 1 juta merupakan cicilan pertamanya. Sehingga, total yang dia bayarkan sebesar Rp 10 juta.
"Bayar DP rumah dengan tabungan kita yang sudah ada, contohnya kemarin Rp 10 juta," ucap Fauzan.
Setiap bulannya, Fauzan mencicil rumah seharga Rp 1 juta per bulan dengan tenor yang dipilih selama 20 tahun.
Selain itu, dia yang mengajukan untuk membeli rumah pada Oktober 2020 ini baru dinyatakan lolos BI-checking satu bulan setelahnya.
Fauzan mengatakan, pengorbanan tersebut wajar karena rumah tersebut nantinya juga akan menjadi aset pribadinya.
"Sama (seperti) ngontrak aja bayarnya, anggap saja kita hidup juga kan harus ngontrak dan ada tempat tinggal, bedanya (seiring berjalannya waktu) rumah itu akan jadi milik kita," tuntas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.