JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga penghuni Apartemen Green Pramuka City, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Sektor Cempaka Putih.
Penetapan status tersangka ini menyusul pelaporan yang dilakukan PT Duta Paramindo Sejahtera selaku pengembang apartemen yang berloaksi di Jakarta Pusat tersebut.
Ketiga warga berinisial SR, ES, dan YK, dianggap telah memfitnah pelapor.
Kasus ini berawal pada 10 September 2019 silam, paguyuban warga yang merupakan pemilik sekaligus penghuni Apartemen Green Pramuka City menyurati Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta (BPRD) untuk menanyakan perihal penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Baca juga: Kasus Acho, Apartemen Green Pramuka, dan Absennya Peran Pemerintah
Padahal warga belum memperoleh Sertifikat Satuan Rumah Susun (Sarusun) sebagai syarat penagihan PBB, walau telah lunas membayar pembelian apartemen.
Selain itu, warga juga mempertanyakan dasar hukum atas pemblokiran kartu akses yang dilakukan oleh pengelola apartemen jika menolak pembayaran PBB.
Penasihat Hukum SR, ER, dan YK, Muhammad Alfy Pratama dan Ongku Siregar menuturkan, ketiga warga dituduh melakukan Tindak Pidana Pengaduan atau Pemberitahuan Palsu atau Fitnah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 KUHP.
Alfy menambahkan, mereka disangka menyampaikan Pemberitahuan Palsu atau Fitnah karena surat yang dikirim ke BPRD DKI Jakarta.
"Padahal, surat tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk mencari informasi dan hal tersebut sah secara hukum karena telah dijamin dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM," jelas Alfy kepada Kompas.com, Senin (13/4/2020).
Penetapan status tersangka terhadap ketiga penghuni apartemen ini menambah deretan kasus perihal hak kebebasan berpendapat warga negara.
Baca juga: Kasus Green Pramuka, Pemprov DKI Dinilai Kurang Pengawasan
Alfy meminta pihak Kepolisian untuk teliti sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Dia menilai, banyak pihak yang dijadikan tersangka justru hanya karena mereka menyampaikan pendapat, keluhan, kritik, dan mencari informasi sehingga tidak seharusnya sangkaan tersebut ditujukan kepada mereka.
"Hak berpendapat itu hak hukum. Kita lihat kembali Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD 1945, ditambah lagi Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2005, sudah jelas hal itu diatur dalam Pasal 19," tegas Alfy.
Atas penetapan status baru ini, ketiga tersangka menempuh upaya Praperadilan dan telah mendaftarkan permohonannya di PN Jakarta Pusat dalam Perkara Nomor: 3/Pid.Pra/2020/PN Jkt Pst.
"Kami akan menguji keabsahan penetapan tersangka mereka, apa telah sesuai dengan proses yang diatur oleh peraturan perundang-undangan," terang Ongku.