JAKARTA, KOMPAS.com - Angka kebutuhan (backlog) perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum terpenuhi, masih cukup tinggi. Tahun 2020 saja angka kebutuhannya mencapai sekitar 260.000 unit.
Plt. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti Setyo Maharso mengatakan backlog tersebut didominasi masyarakat berpenghasilan kurang dari Rp 7 juta.
Di sisi lain, penyaluran kredit untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada tahun 2020 turun signifikan dibandingkan tahun 2019 dan 2018.
Baca juga: Terbesar dalam Lima Tahun, FLPP 2020 Dialokasikan Rp 11 Triliun
Anggaran FLPP tahun ini yang dialokasikan Pemerintah hanya Rp 11 triliun untuk membiayai 97.700 unit rumah.
Sementara kebutuhan dana untuk membangun 260.000 unit rumah sekitar Rp 29 triliun. Dengan demikian, masih ada kekurangan dana sebanyak Rp 18 triliun.
"Kami ingin ada solusi terbaik karena backlog tinggi dari segi demand, dari produk," ujar Setyo, di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Sementara itu, Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan pada tahun ini semua pengembang sepakat dana FLPP yang dianggarkan akan habis pada April 2020.
"Saat ini kebutuhan yang ter-cover hanya 86.000 unit dari total kebutuhan 260.000 unit rumah," sebut Totok.
Baca juga: Pemerintah Tunjuk 37 Bank Salurkan FLPP Tahun 2020
Untuk itu, Kadin beserta asosiasi pengembang baik REI, Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), serta Pengembang Indonesia (PI) menawarkan empat solusi alternatif.
Setyo menuturkan, alternatif pertama yaitu mengalihkan dana bantuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) menjadi mekanisme subsidi selisih bunga (SSB).
Solusi kedua adalah pemanfaatan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang mengendap menjadi alternatif pembiayaan.
Menurut Setyo, dana pemerintah pusat yang mengendap di rekening pemerintah daerah (pemda) mencapai Rp 186 triliun.
Nah, jika 10 persen dari dana tersebut atau sekitar Rp 18,6 triliun bisa ditarik ke pusat, maka dapat dialihkan untuk membiayai pembangunan rumah sederhana.
Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan sebagian dana pemerintah pusat dan pemda harus dialokasikan untuk pengadaan perumahan.
Selain itu, pemerintah juga bisa mengoptimalisasi dana dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK). Menurut Setyo, sesuai UU, BPJSTK seharusnya juga berperan dalam menyediakan fasilitas perumahan kepada tenaga kerja.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaya menuturkan, berdasarkan data yang dihimpun Himperra, sebanyak 70 persen penerima FLPP merupakan para peserta BPJSTK.
Namun alternatif ini terganjal oleh regulasi yang mengatur imbal hasil bunga dana BPJSTK yang terlalu tinggi.
Baca juga: Suara dari NTT: Ketua Umum REI Harus Perjuangkan Subsidi FLPP
Kendati mengusulkan alternatif ini, namun Setyo mengaku, untuk skema penyalurannya dan pembiayaan masih harus dibahas lebih lanjut dengan stakeholder, Kementerian PUPR, dan direktorat jenderal (dirjen) terkait.
Selain itu, perlu ada titik temu di Kementerian Ketenagakerjaan mengenai pembahasan tingkat bunga optimal dalam penyaluran perumahan pekerja.
"Yang sesuai UU, dia harus menyedikan rumah bagi pekerja yang ikut BPJS, pemda (kabupaten) juga harus bertanggung jawab untuk penyediaan perumahan," imbuh Setyo.
Selanjutnya, pengalihan dana subsidi yang tidak tepat sasaran seperti di sektor minyak dan gas.
"Tentu banyak subsidi-subsidi pemerintah yang harus dievaluasi, migas dan sebagainya, yang kalau memang tidak tepat sasaran alangkah baiknya digeser untuk subsidi perumahan," pungkas Setyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.