KOMPAS.com - Maladewa merupakan salah satu destinasi liburan kelas dunia. Wisatawan dari beragam latar belakang berbeda, berbondong-bondong berkunjung ke tempat yang disebut surga dunia tersebut.
Tak heran, wilayah ini dikelilingi pantai pasir putih dengan air laut biru jernih, resor kelas dunia, serta panorama nan spektakuler.
Di sini, mudah menemukan resor atau penginapan dengan fasilitas premium.
Terbaru, sebuah vila yang bawah laut, The Muraka, yang merupakan resor spektakuler dan dirancang oleh arsitek lokal Ahmad Saleem.
Namun di balik gemerlapnya destinasi liburan tersebut, pada awalnya Maladewa merupakan lokasi liburan yang tak banyak diketahui.
Kepada Forbes, pria asal Swedia ini awalnya tidak berencana berkunjung ke Maladewa.
Pada tahun 1985, saat liburan musim dinginnya bagal, Petre mengalihkan tujuan liburannya ke Sri Lanka.
Saat di negara inilah, Petre kemudian mendengar tentang negara kepulauan di tengah Samudera Hindia.
Petre tertarik berkunjung. Ia pun terpesona dengan penampakan Maladewa pada padangan pertama.
"Saya bekerja untuk sebuah perusahaan perjalanan Skandinavia dan saya melihat potensi masa depan karena sangat unik," ujar Petre.
Menurutnya, sebelum bertandang ke tempat ini, Petre telah mengunjungi beberapa tempat seperti Kepulauan Fiji yang berada di tengah Samudera Pasifik.
Baca juga: Sensasi The Muraka, Vila Bawah Laut Maladewa
Namun Petre beranggapan Maladewa menawarkan keindahan panorama yang berbeda.
"Sebelum saya datang ke sini, saya sudah berada di Pasifik Selatan, di Fiji, tetapi tidak ada yang seperti Maladewa. Alam, geografi, dan iklim sangat sempurna," tutur dia.
Setelah terpukau dengan kondisi alamnya, Petre memutuskan untuk membuka resor di Maladewa.
Selang tiga tahun berikutnya, tepatnya pada Desember 1985, Petre membuka resor pertamanya, Kuredu.
"Ketika saya datang, mungkin ada 15 resor di seluruh negeri dan hari ini ada 150. Ini benar-benar telah berubah. Ketika kami mulai pada tahun 1988, kami adalah satu-satunya resor di atol ini (Lhaviyani Atoll). Tidak ada orang di utara kami," ucap Petre.
Namun pembukaan resor pertamanya hanya berselang satu bulan dari kudeta di negara tersebut. Kondisi ini praktis membuat suasana politik di Maladewa menjadi panas.
Petre menuturkan, kudeta yang dirancang oleh pengusaha setempat pun gagal. Kejadian tersebut membuat Pemerintah India mengirimkan 3.000 penerjun payung ke Maladewa.
Kala itu, salah seorang tentara bayaran melarikan diri menggunakan sebuah kapal, yang pada akhirnya ditenggelamkan oleh Angkatan Laut India.
Naasnya, kapal yang digunakan untuk melarikan diri itu membawa perlengkapan dapur milik resor Petre.
"Empat bulan pertama kami memiliki dapur sementara dan piring sementara," tutur Petre.
Selain suasana politik yang memanas, masyarakat lokal saat itu belum terlalu terbuka.
Menurutnya, kala itu belum banyak perempuan lokal yang mau bekerja di resor. Padahal, dia membutuhkan banyak pekerja perempuan.
Alhasil, Petre pun lalu membawa keluarga dan anak perempuan Kuredu serta membangun fasilitas khusus bagi mereka.
Baca juga: Dari Maladewa, Turis China Berpaling ke Indonesia
Para perempuan tersebut kemudian dididik di bidang perhotelan untuk mengembangkan resor.
"Dari dasarnya memiliki nol perempuan di tenaga kerja perhotelan, hari ini di mana-mana ada perempuan lokal," kata Petre.
Jumlah ini bertambah dengan kehadiran turis dari negara-negara lain seperti Jerman dan Inggris, dan lebih dari 150 negara saat ini.
Pertumbuhan resornya kian pesat. Saat Kuredu dibangun, Petre bermitra dengan warga setempat dan mendirikan perusahaan Crown & Champa Resorts.
Selama tiga dekade terakhir, perusahaan mereka telah berkembang dan memiliki serta mengelola 10 resor, selusin lokasi Duniye Spa dan enam pusat penyelaman di kepulauan tropis.
Seiring bertumbuhnya perusahaan itu, pariwisata Maladewa juga semakin berkembang. Bahkan industri ini terus tumbuh sejak pembukaan resor pertamanya pada dekade 1970-an.
Saat ini, negara tersebut memiliki lebih dari 150 resor tersebar di sepanjang wilayahnya. Bahkan saat ini saja, ada 20 resor baru yang siap dibuka.
Selain itu, ledakan pariwisata di Maladewa telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, industri tersebut mengangkat ekonomi negara.
Tetapi di sisi lain berkembangnya pariwisata di wilayah ini melahirkan kekhawatiran baru terutama terkait dengan perkembangan ekosistem lautnya.
Maladewa yang merupakan salah satu negara dengan ketinggian terendah di dunia menghadapi permasalahan iklim karena perubahan muka air laut.
Terumbu karang yang menjadi bagian dari perairan dilaporkan telah rusak oleh kenaikan suhu, pengasaman laut, polusi dan eksploitasi berlebihan.
Selain itu, banyaknya pemain besar di bidang perhotelan dan pariwisata juga menyebabkan kekhawatiran lain yakni persaingan yang tidak sehat.
Petre tidak menampik hal tersebut. Dia mengatakan semakin banyak turis yang datang maka dampak lingkungan akan tetap ada.
Untuk itu, dia giat melakukan perubahan terutama dalam penerapan industri yang ramah lingkungan.
Di beberapa resornya, Petre menggunakan panel surya. Kemudian seluruh sabun dan bahan pembrrsih di vila miliknya menggunakan bahan yang biodegradable atau mudah hancur oleh lingkungan.
"Saya pikir Maladewa akan selalu diminati karena orang-orang saat ini kebanyakan tinggal di kota-kota besar. Dan cara terbaik untuk menghilangkan stres adalah di alam seperti ini," kata Petre.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.