Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2019, 12:18 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Transportasi perkeretaapian adalah kegiatan memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan moda kereta api.

Perpindahan tersebut haruslah menjadi perpindahan yang sehat atau dengan kata lain memiliki keuntungan bagi yang memindahkan (penyedia jasa kereta api) maupun yang dipindahkan (konsumen). Untuk itu diperlukan sistem perkeretaapian yang baik dan terukur.

Menurut Direktur Eksekutif INTRANS Deddy Herlambang, MRT Jakarta yang dioperasikan secara resmi tanggal 1 April 2019, kini telah menjadi pilihan angkutan umum massal di jantung kota Jakarta.

"Sejak bertarif pada Mei 2019 dengan rentang Rp 3.000 hingga Rp 14.000, jumlah pengguna jasa kereta MRT Jakarta terus menunjukkan kenaikan setiap bulannya," ujar Deddy kepada Kompas.com, Rabu (20/11/2019).

Hal ini dibenarkan Direktur Operasional dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Muhammad Effendi dan Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta Tuhiyat, bahwa jumlah penumpang terus bertambah hingga mencapai rata-rata 90.000 orang per hari.

Baca juga: MRT Jakarta Menuju World Class Operator

Ibu-ibu muda tengah menggunakan MRT Jakarta untuk mobilitas belanjaArdian J Fatkoer Ibu-ibu muda tengah menggunakan MRT Jakarta untuk mobilitas belanja
Padahal, saat awal-awal beroperasi, jumlah pengguna jasa kereta MRT masih sekitar 70.000-an orang dengan rincian: penumpang Senin (13/5/2019) 77.630 orang, penumpang Selasa (14/5/2019) 79.431 orang, penumpang Rabu (15/5/2019) 78.891 orang, dan penumpang Kamis (16/5/2019) 81.965 orang.

Rata-rata pengguna MRT saat ini per harinya mencapai 90.000 orang. Angka tersebut menunjukan adanya kenaikan setiap bulannya.

Sementara data PT MRT Jakarta per 1-14 Juli 2019, menunjukkan bila hari kerja jumlah perjalanan kereta 285 kali, sedangkan perjalanan kereta akhir pekan 219 kali.

Untuk load factor (LF) hari kerja 37 persen dan LF pada akhir pekan 42 persen. Dari data ini bisa disimpulkan kembali bahwa untuk LF akhir pekan, okupansi penggunanya lebih banyak karena jumlah perjalanan lebih sedikit, 66 kali.

Hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada keseimbangan biaya operasi normal dengan keuntungan perusahaan. Untuk mencapai keseimbangan ideal, minimal load factor (LF)-nya harus 60 persen. 

Namun, bukan tidak mungkin kondisi ideal ini dapat dicapai, mengingat sejak diterapkannya rekayasa ganjil-genap di jalan-jalan protokol pada 9 September 2019, pengguna MRT mengalami kenaikan.

Key Success Indicator

PT MRT Jakarta menargetkan total pendapatan dari penjualan tiket (farebox) sepanjang 2019 sebesar Rp 168 miliar.

Target ini telah terlampaui karena sampai dengan bulan Oktober, menurut Tuhiyat, pendapatan farebox telah mencapai Rp 180 miliar.

Sementara realisasi pendapatan non-farebox telah mencapai Rp 225 miliar, dengan kontribusi terbesar dari iklan, disusul hak penamaan (naming rights), penyewaan ruang ritel, dan telekomunikasi.

Dengan meningkatnya pengguna kereta MRT pada hari libur dan akhir pekan serta jumlah pengguna rata-rata yang sudah mencapai 90.000 orang per hari, pendapatan MRT Jakarta sampai akhir 2019 diproyeksikan tumbuh positif.

Namun demikian, dalam kacamata Deddy, key success indicator (KSI) MRT Jakarta justru terletak pada meningkatnya jumlah pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke MRT pada hari kerja.

Baca juga: Fase II MRT Jakarta Bunderan HI-Ancol Barat Butuh Rp 22,5 Triliun

Karena MRT diutamakan untuk switching dari kendaraan pribadi ketika ERP diberlakukan. Selain itu, itu juga perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke MRT bukan perpindahan antar moda angkutan umum.

"MRT diharapkan dapat membantu target pemerintah 60 persen share transportasi publik pada tahun 2029," imbuh Deddy.

Ilustrasi evakuasi jalur layang MRT Jakarta saat listrik padam pada Minggu (4/8/2019)DOKUMENTASI MRT JAKARTA Ilustrasi evakuasi jalur layang MRT Jakarta saat listrik padam pada Minggu (4/8/2019)
Namun, bagaimana bila ada kejadian tak terduga yang berdampak signifikan pada operasional?

Melalui kejadian listrik mati total 4 Agustus 2019, MRT Jakarta mutlak perlu standard operational procedure (SOP) baru yang mengatur mitigasi kebencanaan untuk jalur bawah tanah MRT.

Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan SOP jalur kereta bawah tanah Indonesia masih belum memiliki payung hukum terkait standarisasi dari pemerintah.

Dalam hal ini diperlukan regulasi terkait standarisasi SOP dan simulasi kondisi kahar (listrik mati dan bencana banjir/gempa) khusus jalur kereta atas dan jalur bawah tanah.

Baca juga: 1 Desember, Naik MRT Jakarta Bisa Pakai QR Code

Untuk menghasilkan sistem perkeretaapian yang baik dan terukur tentunya wajib mengutamakan kepuasan dan kepercayaan konsumen berdasarkan keselamatan, keamanan, kehandalan, kenyamanan, kemudahan, dan kesetaraan.

Keenam pilar tersebut, kata Deddy, saat ini dapat menjadi misi dalam SPM dari perusahaan perkeretaapian.

Unsur pelayanan memilki posisi sangat penting dan menentukan keberhasilan dalam sistem perkeretaapian yang baik dan terkontrol.

Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta TuhiyatHilda B Alexander/Kompas.com Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta Tuhiyat
Untuk memperoleh sistem pelayanan sesuai standarisasi internasional tentunya tidak dapat mengandalkan sense of services atau level of service semata mengingat dalam prinsip pelayanan pelanggan tidak pernah mengenal batas atas.

"Khusus MRT sebaiknya tidak diberlakukan SPM lagi karena sarana dan prasarana didesain dalam satu kesatuan unit, jadi SPM MRT Jakarta bisa naik kelas menjadi standar pelayanan (SP)," imbuh Deddy.

Persoalan ini berbeda dengan commuter line eksisting yang yang dikelola oleh PT KCI, karena sarana dan prasarana keretanya berstatus given (sudah ada/bukan produk baru yang saling berbeda secara teknis), sehingga tidak bisa sinkronisasi langsung dalam pelayanan, karenanya masih perlu SPM.

Khusus MRT Jakarta karena konsep pelayanan dan SOP mengacu kepada Nippon Railway (NR), seharusnya telah mempunyai standar pelayanan sama seperti di Jepang.

"Apabila di negeri Sakura telah berhasil dalam pelayanan terhadap penggunanya, bisa dikatakan standar pelayanan sebenarnya telah Internasional, hanya saja kita perlu cek dan evaluasi dalam praktek implementasinya di lapangan," tuntas Deddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau