JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat sekaligus anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang meragukan standardisasi China terkait kualitas, keselamatan (safety), dan layanan purna jual Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
"Kalau mengenai mereka telah membangun puluhan ribu kilometer rel untuk kereta cepat iya, kita angkat topi. Tapi, jika bicara kualitas, keamanan dan safety, saya kok masih sangsi. Karena banyak terjadi kecelakaan, seperti kereta cepat anjlok di China," tutur Deddy kepada Kompas.com, Selasa (1/10/2019).
Deddy memberi tanggapan terkait rencana PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dalam membangun dan mengoperasikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan mengacu pada standar China.
"Sekali-kali kita memperkenalkan standar China. Bahwa ternyata tidak hanya Amerika Serikat atau Eropa yang bisa kita jadikan acuan, China telah membuktikan kehebatannya, teknologi, operasional, dan layanan," kata Direktur Utama KCIC Chandra Dwiputra saat memberikan sambutan dalam Pemasangan Girder Pertama Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Senin (30/9/2019).
Baca juga: Girder Perdana Terpasang, Kereta Cepat Jakarta-Bandung Operasi 2021
Selain itu, imbuh Chandra, putra-putri terbaik Indonesia yang lolos rekruitmen sebagai karyawan KCIC pun akan disekolahkan di China guna mempelajari standard operational procedure (SOP) kereta cepat.
"Ilmu yang mereka dapat seperti masalah ticketing, dan pelayanan akan diterapkan saat Kereta cepat jakarta-Bandung, beroperasi," cetus Chandra.
Rencana KCIC ini didukung penuh oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. Dia mengatakan, China merupakan satu-satunya negara yang mampu membangun infrastruktur kereta cepat terpanjang di dunia.
Baca juga: Rini Puji Hasil Kerja Wika dan Kontraktor China
"China sekarang menjadi acuan. Mereka sanggup mengembangkan 28.000 kilometer kereta cepat," kata Rini.
Deddy mengomentari rencana KCIC dan dukungan Menteri Rini sebagai "berita buruk", atau bad news.
"Saya harus mengatakan bahwa rencana ini bad news ya," tegas dia.
Deddy memberi alasan, Indonesia hingga saat ini belum memiliki regulasi mengenai kereta cepat. Regulasi yang ada hanya mengatur kereta konvensional dengan kecepatan maksimum 120 kilometer per jam.
Karena tak mengatur kereta cepat, dalam UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pun tak ada pasal atau ayat mengenai prasarana, sarana, lebih lagi rolling stock, safety, dan SOP.
Baca juga: Dubes China 14 Kali Sambangi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Jangankan kereta cepat, kereta semi cepat dengan laju 160 kilometer hingga 200 kilometer per jam pun, kita belum memiliki beleidnya.
Namun Deddy mengakui, transportasi berbasis rel kita memang sangat terlambat dan tertinggal jauh dibandingkan China.
Baik di sisi infrastrukturnya, jembatannya, sistem persinyalannya, teknologi keretanya, maupun pelayanannya.
Hanya, Deddy mengingatkan, jika terpaksa mengacu pada standardisasi China, pemerintah harus mengutamakan faktor reliabilitas, keamanan, keselamatan, kualitas kereta cepat, ketahanannya, dan layanan purna jual.
Baca juga: 5 Things To Know, Sejarah Baru Kereta Cepat Indonesia
"Selain itu, harus memberikan kenyamanan kepada penumpang," kata Deddy.
Yang kemudian patut dipertanyakan adalah, apakah standar yang dimaksud nomor dua, terakhir, paling murah, atau paling tinggi dan paling mahal.
Kita patut melakukan verifikasi atas standar yang diterapkan ini. Sangsi sangat diperlukan, sebab China begitu piawai memproduksi barang-barang melalui metode duplikasi.
Hal ini berbeda dengan Jepang yang memang sudah teruji. Sejak memiliki kereta cepat perdana pada 1 Oktober 1964, negara ini belum sekalipun mengalami kecelakaan operasional kereta cepat.
Oleh karena, Deddy mengusulkan, sebaiknya pemerintah segera menerbitkan peraturan teknis. Selama UU belum ada, pemerintah dalam hal ini Kementerian perhubungan bisa menggunakan diskresi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.