JAKARTA, KOMPAS.com - Gedung Arsip Nasional yang berada di Jalan Gajah Mada nomor 111, Jakarta Pusat, awalnya adalah tempat tinggal dan bukan bangunan yang khusus dijadikan tempat penyimpanan arsip.
Menurut pemberitaan Harian Kompas, 18 Mei 1972, awalnya gedung ini merupakan rumah tinggal yang dibangun oleh Reinier de Klerk, seorang pedagang yang kelak menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Ia mendirikan vila mewah di luar tembok Kota Batavia pada 1760.
Awalnya, bangunan ini difungsikan sebagai rumah tinggal hingga Reiner meninggal dunia pada 1780 dan disusul istrinya, lima tahun kemudian.
Setelah itu, gedung ini berpindah tangan melalui proses lelang. Johannes Siberg, yang merupakan menantu Gubernur Jenderal pengganti Reiner kemudian membeli kediaman ini. Selama 30 tahun, rumah ini berada di bawah kendali Sieberg.
Setelah itu, hunian mewah tersebut berganti kepemilikan ke tangan Lambert Zeegers Veckens.
Lalu, dua tahun kemudian, Leendeft Miero membeli bangunan itu. Dari Miero, hunian ini lalu berpindah tangan ke menantunya, Cornelis Mayer.
Setelah itu, ia menjual rumah kepada College van Diakenen der Hervormde Gerneete atau Dewan Gereja. Di tangan Dewan Gereja inilah, rumah ini mengalami sejumlah perubahan.
Perubahan melingkupi penambahan ruangan dengan gaya Yunani pada bagian depan serta penambahan ruang anak-anak.
Fungsi bangunan sebagai pusat arsip ternyata ada sejak masih di bawah kendali Hindia Belanda.
Di bawah arahan Dewan Gereja, rumah ini menjadi asrama bagi anak-anak yatim piatu.
Namun, hal ini tak bertahan lama. Wilayah Moenvliet mulai dikelilingi oleh permukiman orang-orang kaya.
Hal ini membuat Dewan Gereja pada waktu itu memutuskan untuk menjualnya kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Setelah itu, di tangan pemerintah kolonial saat itu, bangunan ini difungsikan sebagai Kantor Landraad dan Pengadilan dan lalu diubah menjadi Kantor Dinas Pertambangan.
Pada waktu itu, JH Abendanon, Direktur Oderwijs, Eerdienst en Nijverheld mengubah fungsi gedung menjadi Lands-archief atau kantor arsip negara.