JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah peritel besar mengumumkan penutupan operasionalnya di beberapa lokasi.
Sebut saja PT Matahari Putra Prima Tbk yang menutup gerai ritel modern Matahari Department Store. Gerai yang ditutup berada di pusat perbelanjaan Taman Anggrek, Jakarta Barat, dan Lombok City Center, Nusa Tenggara Barat.
Kemudian PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) juga menghentikan secara total operasional toko ritel Debenhams di Indonesia menyusul penutupan perusahaan ritel asal Amerika Serikat (AS), GAP di Pondok Indah Mall.
Berikutnya PT Hero Supermarket Tbk yang baru-baru ini mengumumkan akan menutup enam gerai merek Giant.
Keenam gerai tersebut yakni Giant Express Pondok Timur, Giant Express Cinere Mall, Giant Express Mampang, Giant Extra Jatimakmur, Giant Extra Mitra 10 Cibubur, dan Giant Extra Wisma Asri.
Baca juga: Bisnis Ritel Menurun, Pasaraya Berubah Menjadi “New Creative Hub”
Selanjutnya PT Central Retail Indonesia mengonfirmasi menutup satu gerai Central Departement Store di NeoSoho pada awal tahun ini.
Sebagian besar, peritel-peritel raksasa tersebut menempati area di pusat perbelanjaan sewa atau biasa disebut lease mall.
Namun, fenomena ini tak hanya terjadi pada peritel raksasa di pusat belanja sewa, melainkan juga peritel skala kecil yang mengisi pusat perdagangan strata title atau beken disebut trade center.
Fenomena yang kami rekam adalah peritel-peritel di ITC Mangga Dua, sebagai salah satu pusat perdagangan pakaian di Jakarta, kini sepi pembeli.
Jika satu dekade lalu, pengunjung sangat sulit berjalan santai karena koridor dipenuhi barangan dagangan, kini bisa menjadi "arena adu lari".
Padahal pada masa jayanya, ITC Mangga Dua merupakan trade center tersibuk di Indonesia, menyaingi Pusat Grosir Tanah Abang.
Selain ITC Mangga Dua, trade center dengan merek dagang sama besutan Sinarmas Land adalah ITC Kuningan, Grand ITC Permata Hijau, ITC Fatmawati, ITC Cempaka Mas, ITC Roxy Mas, ITC Depok, ITC BSD, dan ITC Surabaya.
Baca juga: Ini Penyebab Runtuhnya Kejayaan ITC (II)
Bahkan banyak kios di ITC Kuningan yang disewakan kembali atau dijual melalui platform e-commerce, karena saking sepinya pengunjung dan pembeli.
Demikian halnya dengan pusat belanja di sebelahnya yakni Mal Ambasador yang kondisinya setali tiga uang.
Ada apa dengan ITC?
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alexander Stefanus Ridwan, pusat belanja atau pusat perdagangan yang berkonsep trade center, merupakan bangunan strata title.
Ini artinya, setiap kios bisa dimiliki oleh perorangan, atau pun kelompok. Nah, dalam kasus ITC Mangga Dua, terdapat ribuan pemilik karena jumlah kiosnya pun sebanyak 3.500 unit.
Hal ini kemudian yang menyebabkan pengelola dan atau pengembang kesusahan untuk menyatukan pendapat seluruh pemilik kios.
"Jadi enggak bisa diatur seperti mal sewa. Kalau mal sewa kan, saya mau ubah seperti ini misalnya penyewa mau enggak mau harus mengikuti. Kalau trade center, semau pemilik kios," tutur Stefanus kepada Kompas.com, Rabu (3/7/2019).
Selain itu, menurut Stefanus, lesunya bisnis ritel trade center ini adalah karena kurangnya inovasi. Padahal hal ini adalah salah satu syarat agar bisa bertahan di industri ritel.
Dengan kondisi saat ini, para peritel harus menyatukan visi. Tak hanya para pemilik kios, pengelola juga harus ambil bagian.
Baca juga: Ini Penyebab Turunnya Kejayaan ITC (III)
Hal inilah yang menjadi sorotan CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono. Menurut Hendra, Sinarmas Land selaku pengembang, pengelola, dan juga pemilik sebagian kios di ITC-ITC, harus melakukan pendekatan ke para pemilik kios.
"Dengan lokasi-lokasinya yang sebagian strategis, harusnya mereka mampu meng-upgrade konsep, gedung secara fisik, dan manajemennya," kata Hendra.
Semacam pengembangan en bloc seperti di Singapura untuk apartemen-apartemen tua di lokasi strategis.
Tidak mau berubah
Jika opsi buy back atau co develop merupakan pilihan terakhir, maka pengembang dan pengelola harus kreatif dan mampu menciptakan event-event meriah yang mampu menarik minat pengunjung.
"ITC kan tempat jualan barang-barang fast moving low cost fashion dan low cost handphone. Jadi para pedagang mengharapkan fast moving sales juga. Mereka mengharapkan high volume karena marjinnya tipis," tutur Hendra.
Selama ini, penyebab trade center atau pun lease mall yang ditinggalkan oleh para pelanggan karena mereka tidak mau berubah. Bahkan pada era digital seperti ini, peritel juga hrus mengikuti perkembangan zaman.
Salah satunya adalah dengan menerapkan omnichannel sehingga pelanggan dapat menggunakan lebih dari satu channel penjualan seperti toko fisik, e-commerce, serta jual-beli via mobile.
"Harus kompak, sama-sama mau majuin, tukar pikiran sama-sama gimana supaya makin beken. Kalau bisa bermitra dengan komunitas, jadi komunitas itu juga bisa datang ke sana, sehingga bisa langsung ke customer-nya," tambah Stefanus.
Sinarmas Land sendiri selaku pengembang dan pengelola belum memberikan konfirmasi terkait fenomena sepinya ITC-ITC yang mereka kembangkan.
Ketika dihubungi Kompas.com, Managing Director Sinarmas Land Dhony Rahajoe hanya memberikan jawaban, "Maaf keburu rapat lagi. Nanti saya call," .