Relokasi pusat pemerintahan adalah proses konsensus yang panjang. Poltical will saja tidak cukup. Dibutuhkan dua aspek utama: Strategi perencanaan yang visioner dan teknokrat yang handal.
Sebagai sebuah kegiatan perencanaan, relokasi pusat pemerintahan adalah hal yang jamak dilakukan oleh para perencana. Baik "plan as you proceed" maupun mendesain dari nol seperti Brasilia yang dibangun di atas lahan kosong.
Perencana kota Lucio Costa dan arsitek Niemeyer bekerja sama menginisiasi rencana Brasilia, dan kita semua mafhum akan lamanya waktu yang dibutuhkan kota tersebut memenuhi tujuan politiknya untuk menumbuhkan kemajuan ekonomi ke pedalaman Brasil.
Ada juga ibu kota yang butuh 100 tahun dari konsep untuk menjadi kota yang vibrant seperti Washington DC dan St. Petersburg. Lalu ada juga Astana, ibu kota Khazakhtan, yang didesain sebagai metropolitan futuristik, di lokasi Akmola yang semula adalah lokasi pembuangan para pembangkang Uni Soviet.
Presiden Nazarbayev sendiri turun tangan dalam proses perencanaan Astana, dan mempromosikan pusat pemerintahan baru tersebut sebagai "kota zaman mendatang".
Proyek perencanaan kota dilakukan besar-besaran bersama dengan menunjuk firma-firma perencanaan kota dan arsitek dunia. Hasilnya, kota yang seperti kolase bangunan arsitek bermerek, di tengah padang luas. Dan penduduk, ada di sela-selanya.
Sama halnya dengan Nazarbayev, Perdana Menteri Malaysia Mahatir turun tangan langsung kala itu dalam merencanakan Putrajaya.
Mitra saya di firma perencana kami yang mendapat tugas merencana saat itu, bercerita betapa Mahatir hadir di lokasi tiap minggu, dan secara langsung melakukan supervisi, perubahan dan proses rancang kotanya.
Rencana relokasi pusat pemerintahan harus tetap menempatkan pentingnya kota tersebut dalam proses transformasi 'nation-building'.
Proposal rencana relokasi harus memiliki elemen kerangka berpikir agar kota ini harus kondusif untuk bisa mendorong pengambilan kebijakan ekonomi, politik, sosio budaya dan kemananan dan ketahanan bangsa.
Motif dan tujuan rencana relokasi selalu sangat kompleks, dan perlu mempertimbangkan aspek kemampuan ibu kota baru tersebut dalam proses resolusi konflik baik etnis, agama, maupun persaingan antar daerah.
Lebih dari itu, strategi implementasinya harus didesain dengan memperhitungkan ruang ekonomi, kesetaraan dan kompetisi, dituangkan dalam rencana kota yang mumpuni.
Peran perencana kota sangat penting untuk menghindari kota yang dihasilkan menjadi seperti kota mainan Lego atau SimCity, dengan pemanfaatan ruang yang tidak efisien dan tidak manusiawi.
Karena prosesnya yang membutuhkan waktu lama sampai sebuah kota melalui masa "ramp-up" ke bentuk idealnya, perlu strategi khusus agar penduduk awal tidak menjadi seperti semut tersesat dalam lautan beton.
Sejak awal digulirkannya instruksi Presiden untuk menyusun rencana kota baru yang manusiawi dan inklusif pada awal 2015, sampai hari ini baik Bappenas maupun direktorat-direktorat di kementerian lain belum dapat merilis satu pun rencana kota baru yang sarat konsensus dan mumpuni secara proses.