Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Teka-teki Pemindahan Ibu Kota

Kompas.com - 09/05/2019, 11:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merelokasi pusat pemerintahan dan ibu kota negara menuai perbedaan pendapat cukup tajam di kalangan perencana kota kita.

Bukan saja banyak para ahli perencana yang tidak mengetahui rencana tersebut, juga banyak yang mencoba memahami pokok-pokok pikiran permainan catur politik rencana ini, sambil mencari solusi teknokratiknya.

Untuk memahami besarnya tantangan bagi pemerintah dalam menjaga wacana relokasi ini tetap hidup, kita tidak dapat lepas dari konteks kerangka kebijakan perencanaan kota di Indonesia.

Perlu juga dipahami bahwa kota-kota Indonesia yang kita lihat sampai hari ini bertumbuh secara alamiah, dan terbentuk atas peran para pengembang swasta.

Mari kita melihat isu ini dari kaca mata proses perencanaan kota.

Sudah empat dekade, atau separuh umur republik, kita tidak mempunyai kebijakan pengembangan kota yang visioner sekaligus komprehensif. Yang terakhir dan satu-satunya yaitu National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 1985.

NUDS merupakan sebuah skenario perencanaan yang visioner pada masanya, namun terkerdilkan oleh pragmatisme sistem politik sentralistik. Skenario tersebut mengatur hirarki kota-kota terutama berbasis populasi, namun kebijakan tersebut tidak memiliki kepanjangan aturan yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Sejak itu, diikuti era status quo yang menyebabkan terjadinya paceklik pemikiran-pemikiran progresif di antara para perencana. Kita belum melihat pemerintah fokus pada isu pengembangan kota. Hanya program-program kecil berlatar belakang hibah atau pinjaman multilateral kelanjutan NUDS semata.

Kawasan metropolitan dan kota-kota kita seolah tumbuh dengan steroid, terutama karena kegiatan ekonomi yang oportunistik mencari peluang di sela-sela urbanisasi masif.

Usaha-usaha untuk mendistribusikan pertumbuhan dan kesempatan ekonomi diatur terpusat melalui bantuan program pembangunan. Termasuk di antaranya program transmigrasi era 1980-an yang gagal.

Berlakunya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang menjadi salah satu tonggak penting untuk membangunkan kita semua akan proses dan produk rencana dalam membangun kota.

Kawasan Bukit Soeharto jika menelusuri melalui Google Mapsrepro bidik layar Google Maps Kawasan Bukit Soeharto jika menelusuri melalui Google Maps
Namun UU yang sarat bias infrastruktur ini, bukan tanpa masalah. Konflik penggunaan ruang mengemuka, termasuk fenomena pemutihan ketelanjuran dan kesengajaan.

Kita lihat di sekitar kita isu reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, land grabbing pertanian ke peruntukan lain di koridor Bekasi-Karawang, berbagai konflik izin pertambangan, dan banyak lagi.

Saat ini pemerintah Indonesia tidak memiliki dokumen strategi perkotaan yang visioner melihat ke depan. Strategi ini diperlukan untuk memastikan kualitas kota kita yang adil, inklusif, dan berketahanan.

Kita juga merasakan kekurangan kapasitas birokrasi perencana "di tempat yang tepat", serta tidak ada Kementerian atau Lembaga yang menjadi panglima strategi perkotaan nasional.

Relokasi pusat pemerintahan adalah proses konsensus yang panjang. Poltical will  saja tidak cukup. Dibutuhkan dua aspek utama: Strategi perencanaan yang visioner dan teknokrat yang handal.

Sebagai sebuah kegiatan perencanaan, relokasi pusat pemerintahan adalah hal yang jamak dilakukan oleh para perencana. Baik "plan as you proceed" maupun mendesain dari nol seperti Brasilia yang dibangun di atas lahan kosong.

Perencana kota Lucio Costa dan arsitek Niemeyer bekerja sama menginisiasi rencana Brasilia, dan kita semua mafhum akan lamanya waktu yang dibutuhkan kota tersebut memenuhi tujuan politiknya untuk menumbuhkan kemajuan ekonomi ke pedalaman Brasil.

Ada juga ibu kota yang butuh 100 tahun dari konsep untuk menjadi kota yang vibrant seperti Washington DC dan St. Petersburg. Lalu ada juga Astana, ibu kota Khazakhtan, yang didesain sebagai metropolitan futuristik, di lokasi Akmola yang semula adalah lokasi pembuangan para pembangkang Uni Soviet.

Presiden Nazarbayev sendiri turun tangan dalam proses perencanaan Astana, dan mempromosikan pusat pemerintahan baru tersebut sebagai "kota zaman mendatang".

Proyek perencanaan kota dilakukan besar-besaran bersama dengan menunjuk firma-firma perencanaan kota dan arsitek dunia. Hasilnya, kota yang seperti kolase bangunan arsitek bermerek, di tengah padang luas. Dan penduduk, ada di sela-selanya.

Salah satu sudut kota Nursultan, dulu bernama Astana, ibu kota Kazakhstan. Pada Rabu 920/3/2019), parlemen Kazakhstan resmi mengganti nama ibu kota untuk menghormati mantan presiden Nursultan Nazarbayev yang mengundurkan diri.Shutterstock Salah satu sudut kota Nursultan, dulu bernama Astana, ibu kota Kazakhstan. Pada Rabu 920/3/2019), parlemen Kazakhstan resmi mengganti nama ibu kota untuk menghormati mantan presiden Nursultan Nazarbayev yang mengundurkan diri.
Sama halnya dengan Nazarbayev, Perdana Menteri Malaysia Mahatir turun tangan langsung kala itu dalam merencanakan Putrajaya.

Mitra saya di firma perencana kami yang mendapat tugas merencana saat itu, bercerita betapa Mahatir hadir di lokasi tiap minggu, dan secara langsung melakukan supervisi, perubahan dan proses rancang kotanya.

Apakah Kita Siap?

Rencana relokasi pusat pemerintahan harus tetap menempatkan pentingnya kota tersebut dalam proses transformasi 'nation-building'.

Proposal rencana relokasi harus memiliki elemen kerangka berpikir agar kota ini harus kondusif untuk bisa mendorong pengambilan kebijakan ekonomi, politik, sosio budaya dan kemananan dan ketahanan bangsa.

Motif dan tujuan rencana relokasi selalu sangat kompleks, dan perlu mempertimbangkan aspek kemampuan ibu kota baru tersebut dalam proses resolusi konflik baik etnis, agama, maupun persaingan antar daerah.

Lebih dari itu, strategi implementasinya harus didesain dengan memperhitungkan ruang ekonomi, kesetaraan dan kompetisi, dituangkan dalam rencana kota yang mumpuni.

Peran perencana kota sangat penting untuk menghindari kota yang dihasilkan menjadi seperti kota mainan Lego atau SimCity, dengan pemanfaatan ruang yang tidak efisien dan tidak manusiawi.

Karena prosesnya yang membutuhkan waktu lama sampai sebuah kota melalui masa "ramp-up" ke bentuk idealnya, perlu strategi khusus agar penduduk awal tidak menjadi seperti semut tersesat dalam lautan beton.

Sejak awal digulirkannya instruksi Presiden untuk menyusun rencana kota baru yang manusiawi dan inklusif pada awal 2015, sampai hari ini baik Bappenas maupun direktorat-direktorat di kementerian lain belum dapat merilis satu pun rencana kota baru yang sarat konsensus dan mumpuni secara proses.

Proses teknokratik penyusunan rencana kelihatannya terganjal oleh ego sektoral, selain oleh keterbatasan kapasitas yang dikungkung oleh keharusan memenuhi checklist pedoman belaka. 

Setiap perencana tahu, bahwa akibat dari proses yang melulu bertujuan memenuhi pedoman administrasi proyek, hanya menghasilkan rencana kota di atas kertas yang jauh dari kesesuaian dengan keadaan sebenarnya di lapangan.

Sejak ditentukannya kota Maja, Tanjung Selor, Banjar Baru, Sorong dan lain lain, belum menghasilkan dokumen rencana kelas dunia. Bahkan, prosesnya pun minim melibatkan stakeholder dan perencana secara luas. 

Ilustrasi arsitek yang bekerja.Shutterstock Ilustrasi arsitek yang bekerja.
Maka tak heran, kalau diskursus relokasi pusat pemerintahan dan perencanaan kota baru di Indonesia miskin visi dan tanpa fondasi.

Apabila pemerintah serius dalam melakukan relokasi, maka mulailah dengan menyusun rencana kota baru dengan kaidah dunia, menjalankan seluruh proses pembangunan konsensus, melibatkan desain dan teknologi mutakhir untuk mencapai kota yang efisien, vibrant sekaligus berketahanan.  

Selama ini, usaha untuk menyintesiskan wacana filosofis, sejarah dan lingkungan selalu dihadapkan pada ketiadaan data, serta debat berkepanjangan tentang manfaat ekonomi, dan jebakan imparatif politik praktis.

Apa yang nampaknya saat ini sebagai keputusan pembangunan yang baik, bisa menjadi bencana kemanusiaan pada masa depan.

Kepemimpinan sangat penting dalam proses perencanaan ini, namun melengkapinya dengan visi dan teknokrat perencana yang cakap merupakan faktor kesuksesan utama dalam proses panjang ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com