KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merelokasi pusat pemerintahan dan ibu kota negara menuai perbedaan pendapat cukup tajam di kalangan perencana kota kita.
Bukan saja banyak para ahli perencana yang tidak mengetahui rencana tersebut, juga banyak yang mencoba memahami pokok-pokok pikiran permainan catur politik rencana ini, sambil mencari solusi teknokratiknya.
Untuk memahami besarnya tantangan bagi pemerintah dalam menjaga wacana relokasi ini tetap hidup, kita tidak dapat lepas dari konteks kerangka kebijakan perencanaan kota di Indonesia.
Perlu juga dipahami bahwa kota-kota Indonesia yang kita lihat sampai hari ini bertumbuh secara alamiah, dan terbentuk atas peran para pengembang swasta.
Mari kita melihat isu ini dari kaca mata proses perencanaan kota.
Sudah empat dekade, atau separuh umur republik, kita tidak mempunyai kebijakan pengembangan kota yang visioner sekaligus komprehensif. Yang terakhir dan satu-satunya yaitu National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 1985.
NUDS merupakan sebuah skenario perencanaan yang visioner pada masanya, namun terkerdilkan oleh pragmatisme sistem politik sentralistik. Skenario tersebut mengatur hirarki kota-kota terutama berbasis populasi, namun kebijakan tersebut tidak memiliki kepanjangan aturan yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Sejak itu, diikuti era status quo yang menyebabkan terjadinya paceklik pemikiran-pemikiran progresif di antara para perencana. Kita belum melihat pemerintah fokus pada isu pengembangan kota. Hanya program-program kecil berlatar belakang hibah atau pinjaman multilateral kelanjutan NUDS semata.
Kawasan metropolitan dan kota-kota kita seolah tumbuh dengan steroid, terutama karena kegiatan ekonomi yang oportunistik mencari peluang di sela-sela urbanisasi masif.
Usaha-usaha untuk mendistribusikan pertumbuhan dan kesempatan ekonomi diatur terpusat melalui bantuan program pembangunan. Termasuk di antaranya program transmigrasi era 1980-an yang gagal.
Berlakunya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang menjadi salah satu tonggak penting untuk membangunkan kita semua akan proses dan produk rencana dalam membangun kota.
Kita lihat di sekitar kita isu reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, land grabbing pertanian ke peruntukan lain di koridor Bekasi-Karawang, berbagai konflik izin pertambangan, dan banyak lagi.
Saat ini pemerintah Indonesia tidak memiliki dokumen strategi perkotaan yang visioner melihat ke depan. Strategi ini diperlukan untuk memastikan kualitas kota kita yang adil, inklusif, dan berketahanan.
Kita juga merasakan kekurangan kapasitas birokrasi perencana "di tempat yang tepat", serta tidak ada Kementerian atau Lembaga yang menjadi panglima strategi perkotaan nasional.