Aktivitas ini bertujuan untuk menghilangkan lapisan dasar gambut dari lahan gambut. Gambut yang diekstraksi selama proses tersebut umumnya digunakan sebagai bahan bakar.
Namun penduduk pada waktu itu belum memperhatikan dampak dari aktivitas ekstraksi ini. Akhirnya, selain menghasilkan gambut, proses ekstraksi ini juga menghasilkan kanal dan kolam-kolam yang tersisa.
Air yang mengalir berasal dari Danau Giethoornse yang terletak lima kilometer di bagian barat desa.
Kanal dan parit yang ada lalu digali lebih dalam untuk mengangkut gambut. Setelah itu, banyak rumah dibangun di atas lahan yang berada di antara kanal dan kolam-kolam buatan.
Bahkan rumah-rumah yang ada hanya dapat dicapai melalui jembatan atau pun perahu. Sebagian besar jembatan yang dibangun merupakan milik pribadi.
Kemudian pada 1750, aktivitas ekstraksi gambut berhenti. Mengutip laman DBNL, para penduduk mulai menetap dan beralih menjadi peternak.
Mereka membiakkan sapi, memotong rumput dan jerami, serta mengembangkan sektor pertanian dan perikanan sebagai kegiatan tambahan.
Selain kanal, penduduk juga membangun jalur pedestrian dan beberapa jembatan penghubung dengan ketinggian yang disesuaikan agar dapat dilalui perahu.
Keberadaan wilayah ini mulai dikenal publik saat sutradara Belanda, Bert Haanstra mengambil gambar untuk lokasi filmnya yang berjudul Fanfara pada 1958.
Setelah film tersebut dirilis, banyak orang mulai mengetahui tertarik untuk berkunjung ke Giethoorn. Pariwisata di wilayah itu pun meningkat tajam dan menjadi salah satu pendapatan utama para penduduk.
Untuk mengakomodasi banyaknya pengunjung, lahan-lahan pertanian yang ada mulai diubah menjadi rumah-rumah untuk mendukung pariwisata.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan