Bahkan di salah satu kota kecil bernama Giethoorn, penduduknya menggunakan perahu alih-alih bus atau mobil sebagai kendaraan utama.
Giethoorn merupakan kota yang meiliki daya tarik tersendiri. Kota ini bahkan populer dengan julukan "Venesia dari Belanda".
Disebut demikian lantaran alih-alih jalan raya, Giethoorn punya kanal yang tersebar di kotanya, yang jika digabungkan menjadi sepanjang 4,8 kilometer. Selain itu ada pula jalur sepeda yang membentang di pinggir kanal.
Penduduk setempat menggunakan perahu untuk berkeliling. Sementara mobil harus tetap berada di luar kota.
Nama Giethoorn sendiri berasal dari kata Geytenhoren atau yang berarti Tanduk Kambing. Mengikuti pernyataan ini penduduk kemudian menyebut pemukiman mereka dengan nama Geytenhorn. Kemudian menjadi Geythorn, lalu berubah menjadi Giethoorn.
Disebut Tanduk Kambing karena para petani yang mendiami kawasan tersebut kemudian menemukan kumpulan tanduk kambing liar yang diduga mati akibat bencana banjir pada tahun 1170.
Di masa lalu, bentang alam wilayah ini terdiri dari kayu dan gambut tinggi. Melansir situs Giethoorn, pada masa itu para penggali gambut mengambil lapisan tanahnya dan membiarkannya kering.
Kolam dan kanal yang ada di Griethoorn kemudian tercipta karena adanya aktivitas ekstraksi gambut. Menurut Archieven, aktivitas ini telah ada sejak abad ke-11 dan 12.
Namun penduduk pada waktu itu belum memperhatikan dampak dari aktivitas ekstraksi ini. Akhirnya, selain menghasilkan gambut, proses ekstraksi ini juga menghasilkan kanal dan kolam-kolam yang tersisa.
Air yang mengalir berasal dari Danau Giethoornse yang terletak lima kilometer di bagian barat desa.
Kanal dan parit yang ada lalu digali lebih dalam untuk mengangkut gambut. Setelah itu, banyak rumah dibangun di atas lahan yang berada di antara kanal dan kolam-kolam buatan.
Bahkan rumah-rumah yang ada hanya dapat dicapai melalui jembatan atau pun perahu. Sebagian besar jembatan yang dibangun merupakan milik pribadi.
Kemudian pada 1750, aktivitas ekstraksi gambut berhenti. Mengutip laman DBNL, para penduduk mulai menetap dan beralih menjadi peternak.
Mereka membiakkan sapi, memotong rumput dan jerami, serta mengembangkan sektor pertanian dan perikanan sebagai kegiatan tambahan.
Selain kanal, penduduk juga membangun jalur pedestrian dan beberapa jembatan penghubung dengan ketinggian yang disesuaikan agar dapat dilalui perahu.
Keberadaan wilayah ini mulai dikenal publik saat sutradara Belanda, Bert Haanstra mengambil gambar untuk lokasi filmnya yang berjudul Fanfara pada 1958.
Setelah film tersebut dirilis, banyak orang mulai mengetahui tertarik untuk berkunjung ke Giethoorn. Pariwisata di wilayah itu pun meningkat tajam dan menjadi salah satu pendapatan utama para penduduk.
Untuk mengakomodasi banyaknya pengunjung, lahan-lahan pertanian yang ada mulai diubah menjadi rumah-rumah untuk mendukung pariwisata.
https://properti.kompas.com/read/2019/04/30/132935321/sejarah-giethoorn-kota-tanpa-jalan-raya