Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agar TOD Tak Cuma "Marketing Gimmick", Ini Solusinya...

Kompas.com - 11/12/2018, 18:52 WIB
Erwin Hutapea,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembangan hunian berkonsep transit oriented development (TOD) yang sedang tren di Provinsi DKI Jakarta dan kawasan penyangga semestinya menjadi bagian dari kebijakan pemerintah untuk meremajakan kota.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro mengemukakan hal itu untuk menanggapi hunian berkonsep TOD yang saat ini sedang dikerjakan pemerintah di beberapa lokasi.

"Harus dipastikan kesempatan pengembangan kawasan TOD sebagai bagian dari kebijakan peremajaan kota (urban regeneration)," kata Bernardus kepada Kompas.com, Selasa (11/12/2018).

Terutama di wilayah Jakarta, menurut dia, pemerintah daerah harus melakukan peremajaan kota yang bertujuan mengatur semua tata ruang dan kegiatan warga dengan menciptakan kawasan khusus sekitar fasilitas transportasi, dalam hal ini stasiun transit.

Baca juga: Kembangkan TOD, Pemerintah Tak Punya Visi

Pengaturan itu bisa dilakukan melalui regulasi berupa Peraturan Rancang Kota atau Urban Design Guideline (UDGL).

Tingkatannya pun tidak boleh sembarangan, harus dibuat sekelas dunia agar bisa bersaing dengan kota-kota besar di negara lain.

Salah satu caranya dengan melakukan delineasi atau pemetaan wilayah yang bersifat final dan menyeluruh.

Dalam delineasi itu, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan warganya, produktivitas, serta keseimbangan harga lahan.

Kedua, menyangkut perhitungan jumlah semua kelas warga yang tinggal di suatu kawasan, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta perubahan fungsi dan pola ruang setempat.

"Semuanya merupakan mikrosistem dalam kawasan yang didelineasi," ujar Bernardus.

Ketiga, delineasi juga termasuk memberikan hak khusus untuk mengelola dan mengembangkan suatu kawasan, dan memaksimalkan gross floor area (GFA).

Keempat, kewajiban untuk memenuhi fasilitas umum dan fasilitas sosial sesuai aturan, yang nantinya pun diperbaiki dan diremajakan.

Diawasi ketat

Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perum Perumnas, PT Hutama Karya, dan PT Adhi Karya  bekerjasama membangun membangun hunian berbentuk rumah susun (rusun) di  tiga lokasi berbeda di Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Perum Perumnas membangun rusun di Stasiun Rawa Buntu, PT Hutama Karya membangun di Stasiun Jurangmangu, dan Adhi Karya membangun hunian di Cisauk, Senin (10/12/2018).KOMPAS.com/DAVID OLIVER PURBA Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perum Perumnas, PT Hutama Karya, dan PT Adhi Karya bekerjasama membangun membangun hunian berbentuk rumah susun (rusun) di tiga lokasi berbeda di Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Perum Perumnas membangun rusun di Stasiun Rawa Buntu, PT Hutama Karya membangun di Stasiun Jurangmangu, dan Adhi Karya membangun hunian di Cisauk, Senin (10/12/2018).
Fenomena kehadiran badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) yang berlomba memanfaatkan fasilitas transportasi publik, seperti MRT, LRT, dan KRL Commuter Line, menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli bisnis dan komersialisasi hunian.

Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Senin (10/12/2018), tiga BUMN membangun 10.783 unit apartemen berkonsep TOD.

Pembangunannya dilakukan di tiga stasiun, yaitu Stasiun Rawa Buntu dan Jurangmangu di Tangerang Selatan, serta Stasiun Cisauk, Kabupaten Tangerang.

Di Stasiun Rawa Buntu, proyek tersebut digarap Perum Perumnas. Ada 3.632 unit hunian yang akan dibangun di atas lahan seluas 24.626 meter persegi.

Sementara itu, proyek di Stasiun Jurangmangu akan digarap PT Hutama Karya (Persero) melalui anak usahanya, PT HK Realtindo.

Ada 4.150 unit apartemen yang akan dibangun pada enam menara di atas lahan seluas 4,6 hektar.

Adapun untuk proyek di Stasiun Cisauk akan dikembangkan PT Adhi Commuter Properti yang merupakan anak usaha dari PT Adhi Karya (Persero) Tbk.

Menurut Dirut Adhi Karya, Budi Harto, ada 2.641 unit hunian yang dikembangkan pada enam menara apartemen. Tahap pertama sebanyak 832 unit, 300 unit di antaranya ditujukan bagi MBR.

Terkait hal itu, Bernardus berpendapat pelaku pengembangan hunian berkonsep TOD, terutama BUMN, hanya memikirkan pendapatan dan keuntungan yang diperoleh dari masyarakat.

“TOD di Indonesia tidak proporsional karena pemikirannya hanya dari aspek komersial semata. Ada bahaya over commercialization dari TOD,” ucapnya.

Jika konsep TOD tidak dikerjakan dengan benar, akan menghilangkan kesempatan untuk meremajakan dan merevitalisasi kota.

Bagi dia, peremajaan kota merupakan masalah yang harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan hidup yang layak dan berkualitas, seperti bisa dilihat di kota-kota besar lainnya di dunia.

“Akan hilang sia-sia kesempatan untuk melakukan peremajaan dan revitalisasi kota. Padahal, peremajaan merupakan praktik penting demi menciptakan kawasan-kawasan layak hidup berkualitas, serta membawa kota-kota kita sejajar dengan kota-kota mega di dunia,” jelasnya.

Bernardus melihat penerapan konsep TOD saat ini merupakan bisnis untuk menyediakan angkutan massal berupa kereta yang dilengkapi dengan fasilitas komersial di setiap stasiun.

Padahal, keuntungan dari komersialisasi itu tidak harus didapat dari semua stasiun. Hal itu tergantung dari kondisi serta jumlah orang yang datang dan pergi dari stasiun tersebut.

Sekarang ini sekadar usaha penyelenggaraan layanan transportasi massal untuk mendapatkan non-farebox income yang seolah-olah bisa dilakukan di tiap titik stasiun.

"Padahal, dari pengalaman banyak negara, tidak semua titik transit bisa jadi vibrant dan punya nilai komersial yang sama,” ungkap dia.

Sehubungan dengan pemberian hak untuk mengelola dan mengembangkan suatu kawasan, menurut Bernardus, hal itu harus diawasi secara ketat oleh pemerintah karena berpotensi menimbulkan penyelewengan.

"Pemberian hak pengusahaan rentan diselewengkan menjadi land grabbing. Jadi harus dipimpin dan diatur pemerintah," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com