KOMPAS.com - Akhir-akhir ini mulai marak pembangunan atau pemugaran kantor-kantor pemerintahan. Beberapa di antaranya malah dirancang dengan corak arsitektur luar negeri.
Sebut saja Kantor Bupati Rokan Hilir, Kantor Walikota Palopo, hingga gedung Istana Wali Nanggroe di Aceh.
Sekilas, bentuk gedung-gedung ini memiliki kemiripan dengan Gedung Putih atau bangunan serupa, yakni berwana putih, besar, lengkap dengan pilar dan kubah.
Baca juga: Megahnya Gedung Negara, Kantor Kepresidenan di Papua
Kesan megah bahkan langsung terasa saat melihat atau pun memasuki bangunan-bangunan pemerintahan ini.
Namun menurut arsitek dari Badan Pelestarian Arsitektur Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Nasional Aditya W Fitrianto, hal tersebut justru tidak mencerminkan arsitektur Nusantara.
"Sangat disesalkan marak pembangunan fungsi pemerintahan di daerah menggunakan langgm atau gaya arsitektur yang tidak mencerminkan kekayaan khazanah arsitektur Nusantara," ujar Aditya menjawab Kompas.com, Rabu (7/11/2018).
"Padahal megah bisa juga dengan langgam arsitektur modern, bahkan banyak bangunan arsitektur era kolonial, terlihat mewah dan menarik," kata Aditya.
Selain meniru model bangunan mancanegara, terdapat dua bangunan pemerintah lain yang meniru arsitektur gedung lama, seperti bangunan Kantor Desa di Jember dan Kantor Bupati Boyolali. Aditya menuturkan, peniruan ini sangat tidak dianjurkan.
"Kalau itu bangunan heritage, boleh, karena itu pelestarian. Tapi kalau menjiplak bangunan lama, sangat tidak dianjurkan karena tidak ada konteksnya," imbuh dia.
Menurut Aditya, pembangunan gedung baru khususnya untuk kantor pemerintahan seharusnya menggunakan gaya arsitektur masa kini atau modern.
Selain itu, pemerintah setempat juga bisa mengambil langgam arsitektur Nusantara atau khas daerahnya.
Namun, harus ada perhatian khusus dalam menerapkan arsitektur Nusantara dalam tipologi dan kebutuhan bangunan sekarang.
"Memang tidak mudah mengadaptasi bangunan arsitektur Nusantara ke dalam tipologi bangunan kini, tapi harusnya bisa," ucap dia.