Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viktor Laiskodat: Hilangkan BPHTB Perlu Dihitung Ulang

Kompas.com - 28/10/2018, 21:50 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KUPANG, KOMPAS.com - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat, memiliki tanggapan terkait mahalnya pajak Biaya Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikenakan pada masyarakat yang ingin kredit rumah murah.

"Kalau kita ingin hilangkan biaya BPHTB, maka kita harus berhitung,"ucap Viktor kepada Kompas.com, saat meninjau pameran Bank NTT-REI Expo 2018 di Lippo Plaza Kupang, Sabtu (27/10/2018).

Menurut Viktor, jika pajak BPHTB dihilangkan, apakah mempengaruhi pertumbuhan penjualan rumah subsidi di wilayah itu.

Baca juga: Bertemu Wali Kota Kupang, REI NTT Bahas Penghapusan BPHTB

Karena itu, dia akan memanggil pemerintah kabupaten dan kota, untuk bersama-sama membahas BPHTB, sehingga bisa memiliki pandangan yang sama.

"Kami akan carikan solusi yang tepat dan tentunya itu pertimbangan dengan baik, sehingga ke depan warga bisa mempunyai daya tarik pada dunia properti," ucapnya.

"Jika pajak BPHTB dikurangi, tentu kita akan hitung kira-kira pajak dari mana untuk menambah itu dan nanti kita akan lihat," sambungnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI NTT Bobby Pitoby, meminta pemerintah daerah agar segera mengevaluasi kembali pajak BPHTB khusus rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Menurut Pitoby, pajak BPHTB rumah bagi MBR lebih mahal dari pada uang muka untuk kredit rumah.

Sebagai ilustrasi, harga rumah MBR di NTT Rp 148 juta. Untuk masyarakat yang mau kredit, uang mukanya yakni satu persen atau sekitar Rp 1,4 juta.

Namun pajak BPHTB-nya sebesar lima persen, atau sekitar Rp 3,6 juta. Belum lagi ditambah dengan sejumlah biaya lainnya yang jika digabung bisa mencapai Rp 10 juta.

"Ini tentu saja sangat membebani masyarakat,” ujar Pitoby.

Pitoby menjelaskan, sesuai dengan Kebijakan Ekonomi XIII dan juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016, Pajak Penghasilan (PPh) sudah diturunkan bagi pengembang (penjual rumah), yang dibayarkan pada saat terjadi transasksi jual beli rumah.

Karena itu, BPHTB bagi rumah MBR semestinya juga diturunkan agar tidak membebani masyarakat.

"Kita ini sebenarnya sudah diringankan dari PPh yang seharusnya kita bayar 5 persen, tapi sekarang kita cuma bayar 2,5 persen. Penjualan rumah bisa meningkat,” kata Pitoby.

Sejatinya Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengimbau pemerintah daerah untuk segera menurunkan pajak BPHTB, namun hingga saat ini imbauan itu belum dilaksanakan.

Hal ini karena segala deregulasi perpajakan terganjal otonomi daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, praktis, pemerintah pusat tidak bisa melakukan intervensi.

Oleh karena itu, Pitoby mengharapkan pemerintah daerah bisa segera menghapus pajak BPHTB atau pun menurunkannya dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Menurut Pitoby, Pemda NTT saat ini masih berpatokan pada Undang Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 tetang BPHTB.

UU tersebut mencantumkan harga jual rumah dikurangi dengan Nilai Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NOTKP) sebesar Rp 60 juta.

Pada tahun 2009, harga jual rumah MBR masih berkisar Rp 55 juta sehingga saat itu masyarakat tidak membayar BPHTB.

Namun sekarang harga rumah telah mencapai Rp 148 juta sehingga konsekuensinya masyarakat harus membayar BPHTP.

Adapun cara menghitung BPHTB adalah harga jual rumah dikurangi Rp 60 juta sebagai NOPTKP.

Contohnya, harga rumah Rp 135,5 juta, dikurangi Rp 60 juta hasilnya Rp 90 juta dan dikalikan 5 persen, sehingga masyarakat harus menyetor Rp 4,5 juta.

Ditambah satu persen sebagai uang muka, akan dihasilkan angka pajak yang harus dibayarkan ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) NTT.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau