KOMPAS.com - Saat ini Sri Lanka menggunakan dana investasi 1,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 20,7 triliun untuk membangun kota metropolis baru bernama Port City.
Port City Colombo merupakan proyek reklamasi yang akan menjadi penyambung bagi ibu kota Srilanka dan penghubung kawasan maritim antara Asia dan Eropa di sepanjang jalur sutera China.
Baca juga: 5 Megaproyek Ini Akan Mengubah Wajah Srilanka
Proyek ini dijadwalkan rampung pada 2041. Namun kemungkinan biaya yang dikeluarkan diperkirakan lebih besar menjadi 15 miliar dollar AS (Rp 222 triliun).
Ibu kota sekaligus kota terpadat di Sri Lanka, Kolombo, merupakan rumah bagi 750.000 penduduk.
Pembangunan dilanjutkan dengan adanya dana yang berasal dari investor China. Namun ketika Pemerintah Sri Lanka tidak mampu membayar utang, proyek ini harus terhenti kembali.
China bahkan dituduh telah menggunakan investasinya untuk mempengaruhi pemerintahan.
Tuduhan ini membuat China Communications Construction Company selaku investor berang. Mereka bahkan mengkalim kehilangan 380.000 dollar AS per hari sementara proyek ini dalam keadaan terbengkalai.
Kompleks ini nantinya akan menjadi perkantoran, hotel, fasilitas perawatan kesehatan, ritel, dan hiburan.
Proyek Port City berada di lahan seluas 665 hektar, dengan 110 hektar untuk taman dan 300 hektar sebagai ruang rekreasi.
Ukuran ini bahkan melebihi luas ibu kota Sri Lanka, Kolombo, dan seluas pusat Kota London. Rancangan kotanya akan menyerupai kota besar seperti Hong Kong, Singapura, dan Dubai.
Para pejabat berwenang bahkan memperkirakan, proyek ini mampu melipatgandakan ukuran kota menjadi dua kali lipat.
Akhirnya, proyek Port City kembali dikerjakan. Untuk membangun kota baru ini, pengembang ahrus melakukan reklamasi di sepanjang pantai Kolombo.
Menurut China Harbour Engineering Company, selaku pengembang, fase pembangunan ini akan menambahkan sekitar 65 juta meter kubik pasir atau setara dengan 17 miliar galon.
Baca juga: Ini Penyebab Megaproyek Transportasi di China Gagal
Namun Pusat Peradilan Lingkungan Kolombo sendiri memperkirakan pengembangan ini akan membutuhkan sekitar 100 juta meter kubik pasir, senilai 3,2 miliar dollar AS (Rp 47,3 triliun).
Proyek ini sempat mendapat tentangan dari kelompok pemerhati lingkungan telah menyuarakan keprihatinan akan pembangunan kota baru ini.
Menurut mereka, hal ini akan merusak ekosistem laut. Lebih jauh, proses ini akan berakibat pada hilangnya mata pencaharian para nelayan.
Otoritas setempat juga telah memberrikan batas kedalaman pengerukan maksimal 15 meter. Selain itu, pihak pengembang juga dilarang untuk melakukan reklamasi di wilayah yang memiliki terumbu karang atau daerah penangkapan ikan.
Bahkan untuk memperhitungkan biaya ekonomi kepada nelayan, pengembang telah menyisihkan 7 juta dollar AS atau sekitar Rp 103 miliar. Dana ini akan didistribusikan kepada asosiasi nelayan selama tiga tahun.
Menurut pengembang, proyek ini tetap berada di jalurnya. Bahka fase reklamasi diperkirakan selesai pada 2020.
Dari tahun 1982 hingga 2009, negara ini mengalami perang saudara antara pemerintah dan kelompok militan Macan Tamil. Hal ini mengakibatkan rusaknya infrastruktur dan terbunuhnya ratusan ribu penduduk.
Negara ini juga mengalami kerugian hingga 200 miliar dollar AS atau setara Rp 2.959 triliun untuk membiayai kepentingan perang.
Selang 10 tahun kemudian, negara ini berencana untuk mengembangkan perekonomian ibu kota serta menyediakan lapangan pekerjaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.