Padahal idealnya, kompleksitas permasalahan perumahan membutuhkan upaya penyelesaian yang konsisten, sistematis dan terencana.
Pemerintah bisa mulai fokus terlebih dahulu dengan memperkuat peran produk rencana perumahan dan kawasan permukiman di daerah.
Upaya ini sangat penting karena banyak produk rencana, seperti salah satunya Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RPK3P), dalam prakteknya belum menjadi pedoman untuk mengelola pembangunan perumahan di daerah.
Faktor penyebabnya bermacam-macam, mulai dari buruknya kualitas rencana, kealpaan dasar hukum sampai masalah sinkronisasi dengan produk perencanaan lainnya (Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan).
Dampaknya, mayoritas pemerintah daerah (Pemda) hanya terjebak dalam rutinitas sebagai pelaksana program perumahan yang dirancang sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tampak kurang responsif menjawab tantangan dan masalah riil yang ada di sekitarnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2016 kembali mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyusun dua produk rencana yang baru yaitu Rencana Kawasan Permukiman (RKP) dan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan (RP3).
Tugas baru ini adalah kesempatan bagi Pemda untuk memperbaiki kelemahannya yang lalu selama menyusun berbagai produk perencanaan di bidang perumahan dan permukiman.
Dari sekian banyak kelemahan, salah satu yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus adalah terkait persoalan pendataan.
Masalah kelangkaan data seringkali menghambat upaya tim penyusun rencana untuk mengidentifikasi permasalahan dan menyusun strategi yang tepat untuk menyelesaikannya.
Masalah ini juga menjadi penyebab munculnya perbedaan pandangan di antara para stakeholders, contohnya dalam kasus kepastian berapa jumlah kebutuhan atau permintaan rumah di level nasional dan daerah.
Selain itu, produk rencana perumahan yang baru diharapkan tidak lagi berbentuk ‘general plan’ yang sekedar berisi arahan-arahan umum saja, melainkan berisi program konkret yang bisa diimplementasikan secara langsung sampai berakhirnya periode perencanaan.
Sebagai contoh, dalam kasus pembangunan Rusunawa, dokumen RP3 bisa berisi target pembangunan beserta cara untuk mencapainya.
Dokumen ini juga seharusnya berisi strategi yang dibutuhkan untuk mengantisipasi berbagai pemasalahan yang sering muncul selama masa pra-pembangunan, masa konstruksi sampai pasca pembangunan (kegiatan pengelolaan Rusunawa).
Dengan program yang konkret dan komprehensif, kita tidak akan lagi menghadapi proyek Rusunawa yang tidak terencana dengan baik seperti akses dan infrastruktur pendukung yang serba terbatas, atau pengelolaan yang ala kadarnya.
Dewa Frendika
Sorbonne Université, Perancis