Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertama Kali dalam Satu Dekade, Langit Beijing Cerah

Kompas.com - 21/08/2018, 18:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Sumber SCMP,AQICN

KOMPAS.com - China terkenal sebagai negara dengan tingkat polusi paling tinggi di dunia. Dua kota terbesarnya, Beijing dan Shanghai tak luput dari dampak tersebut.

Negeri Tirai Bambu ini memiliki semua jenis polutan udara, termasuk sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, yang sama besarnya dengan emisi karbon.

Namun kali ini, warga Beijing patut berbangga. Pasalnya, mereka akhirnya bisa menikmati langit cerah dan udara bersih setelah satu dekade. Data indeks polusi udara ini diambil dari Kedutaan Besar AS di Beijing.

Dari tujuh hasil pembacaan polusi bulanan terendah di Beijing sejak 2008, lima diantaranya terjadi sejak musim panas lalu.

Baca juga: Jakarta Darurat Polusi Udara

Pada saat itulah, pejabat setempat mulai memberlakukan kebijakan pembatasan pembakaran batubara di Beijing dan sekitarnya.

Pada Juli ini, kandungan polutan di Beijing tercatat rata-rata 44 mikrogram per meter kubik, ketujuh terendah sejak tahun 2008 lalu.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, Selasa (21/8/2018) di laman AQICN, Indeks Kualitas udara (Air Quality Index) kota Beijing berada di angka 34 atau dalam kategori Good. Indeks ini mengindikasikan kualitas udara Beijing sehat.

Sementara menurut situs yang sama, indeks kualitas udara di Jakarta berada dalam level 157. Angka ini menyebutkan kualitas udara ibu kota dalam keadaan Unhealthy atau Tidak Sehat. 

Indeks kualitas udara Beijing dan Jakarta berdasarkan pantauan di situs AQICN. Situs ini mengukur tingkat polusi udara di beberapa kedutaan AS. aqicn.org Indeks kualitas udara Beijing dan Jakarta berdasarkan pantauan di situs AQICN. Situs ini mengukur tingkat polusi udara di beberapa kedutaan AS.
Peningkatan kualitas udara menandakan seberapa keras China dalam menangani masalah polusi di Beijing.

Bahkan pada tahun 2013 lalu, kota ini partikel polutan mencapai 35 kali lebih banyak dari batas yang dianjurkan World Health Organisation (WHO).

Sejak perang melawan polusi menjadi prioritas Presiden Xi Jinping, jutaan industri di utara dipaksa untuk beralih dari penggunaan batubara ke gas alam untuk memenuhi kebutuhan energi.

Negara ini juga telah berusaha mengurangi penggunaan energi batubara dari 60 persen menjadi 58 persen pada 2020 mendatang.

Penggantian sumber energi juga dilakukan di rumah penduduk, terutama untuk penghangat ruangan yang kini menggunakan gas alam.

Pembangkit listrik kini mulai beralih dengan memanfaatkan energi nuklir untuk meminimalisasi penggunaan batubara.

“China telah membuat perjanjian untuk ‘mengembalikan langit yang biru’,” ujar Tim Buckley, Director of Energy Finance Studies pada Institute for Energy Economics and Financial Analysis.

Namun hampir satu minggu berlalu, pemerintah setempat belum memberlakukan regulasi atau aturan baru untuk melanjutkan usaha ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau