Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Jakarta Bersahabat dengan Air

Kompas.com - 25/07/2018, 09:03 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.comJelang pelaksanaan Asian Games ke-18 di Jakarta, berbagai persoalan yang semestinya dapat diselesaikan sejak dini justru bermunculan.

Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.

Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.

Baca juga: Soal Kali Item, Pemerintah Pusat Turun Tangan Atasi Aliran Air

Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.

Kompas.com mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.

Artikel ini merupakan bagian keempat dari liputan khusus  Jakarta Menantang Zaman. Bagian pertama Anda bisa membuka tautan iniartikel kedua ada di sini, dan tulisan ketiga bisa Anda liha pada tautan berikut ini.

Bersahabat dengan air

"Sekarang, banjir tidak pernah selesai karena kita melawan alam. Melawan alam bisa, tapi sangat mahal,". Arsitek dari Studio Akanoma, Yu Sing, mengungkapkan hal tersebut saat berbincang dengan Kompas.com ihwal penanganan masalah banjir DKI Jakarta.

Bantaran Kali Ciliwung di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, rata dengan tanah berlatar belakang hunian liar di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (24/8). Setelah Kampung Pulo, menurut rencana, kawasan Bukit Duri akan ditertibkan sebagai kelanjutan proyek normalisasi Kali Ciliwung untuk mengantisipasi banjir Jakarta. KOMPAS/PRIYOMBODO Bantaran Kali Ciliwung di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, rata dengan tanah berlatar belakang hunian liar di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (24/8). Setelah Kampung Pulo, menurut rencana, kawasan Bukit Duri akan ditertibkan sebagai kelanjutan proyek normalisasi Kali Ciliwung untuk mengantisipasi banjir Jakarta.
Sejak masa kolonialisme pada abad ke-17, Pemerintah Belanda beranggapan bahwa solusi mengatasi banjir Batavia saat itu yakni dengan mengeringkan Jakarta.

Paradigma yang sama digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta saat ini untuk mengatasi permasalahan banjir.

Membangun tanggul dan turap melalui program normalisasi sungai dianggap sebagai solusi untuk mengatasi banjir.

Namun, Yu Sing menilai, langkah itu merupakan upaya pemecahan masalah sesaat. Pemerintah lupa bahwa sejak awal Jakarta dikenal sebagai daerah rawa yang memiliki peran penting sebagai tempat penyimpanan cadangan air.

Cakrawala Jakarta, Indonesia.Hilda B Alexander/Kompas.com Cakrawala Jakarta, Indonesia.
Kendati cukup banyak rawa, bukan berarti saat itu Jakarta tidak pernah banjir. Bahkan, Kerajaan Tarumanegara dalam Prasasti Tugu yang dibuat pada abad ke-5 Masehi mencatat adanya peristiwa banjir.

Sekarang, sebagian besar rawa yang ada telah beralih fungsi menjadi hutan beton akibat pengembangan kawasan, baik itu untuk tempat tinggal, fasilitas umum, hingga perkantoran.

Tak heran bila banjir kerap melanda Jakarta lantaran wilayah resapan airnya banyak yang hilang.

"Memang, kondisi sekarang tidak bisa disamakan dengan dulu. Tetapi dari kondisi dulu kita tahu jangan-jangan sebetulnya yang salah itu paradigma menghadapi banjir. Proyek normalisasi itu kan mengeringkan Jakarta, membuang air ke laut, mengirim air ke laut," tutur Yu Sing.

Ganti paradigma

Hingga kini, Pemprov DKI Jakarta masih belum memiliki road map penyelesaian masalah banjir secara komprehensif. Akibatnya, penanganan banjir dilakukan secara sporadis.

Seperti dalam proyek normalisasi sungai. Selain melawan alam, kata Yu Sing, anggaran yang perlu dikeluarkan pemerintah juga tidak sedikit.

Di samping itu, normalisasi hanyalah solusi sesaat karena akan menimbulkan rentetan masalah lain, seperti membuat cadangan air tanah terus terkuras hingga penurunan permukaan tanah.

Alat berat digunakan memasang turap untuk normalisasi bantaran Kali Ciliwung di Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/1/2013). Normalisasi Kali Ciliwung sepanjang 20 kilometer terus dilakukan untuk mengurangi banjir yang kerap melanda di sekitar alur sungai yang dilaluinya. Proyek normalisasi Ciliwung ini dianggarkan sebesar Rp 1,2  triliun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO Alat berat digunakan memasang turap untuk normalisasi bantaran Kali Ciliwung di Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/1/2013). Normalisasi Kali Ciliwung sepanjang 20 kilometer terus dilakukan untuk mengurangi banjir yang kerap melanda di sekitar alur sungai yang dilaluinya. Proyek normalisasi Ciliwung ini dianggarkan sebesar Rp 1,2 triliun.
Ia mengatakan, pemerintah perlu mengubah paradigma penanganan banjir dengan cara yang lebih bersahabat dengan alam.

Memang, membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, perlahan tapi pasti masalah ini dapat diselesaikan dengan cara lebih baik.

"Kalau paradigmanya dari sekarang berubah, bersahabat dengan air. Menyediakan ruang air yang banyak," kata dia.

Ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menambah ruang air. Misalnya, menambah daerah retensi, mengubah rancangan ruang terbuka hijau (RTH), hingga membongkar beton yang ada di dinding sungai.

Sungai Tsurumi, Jepang.Pixabay Sungai Tsurumi, Jepang.
Jakarta dapat belajar dari Jepang bagaimana pemerintah disana memanfaatkan ruang-ruang publik sebagai daerah retensi. Ketika hujan turun, ruang publik sengaja dibiarkan banjir.

Air tersebut dibiarkan hilang sedikit demi sedikit agar terserap ke dalam tanah, sehingga mampu menjadi cadangan air tanah.

Untuk RTH, Pemprov DKI Jakarta dapat merancang desain ruang terbuka yang lebih rendah dari jalan sebagai daerah resapan.

Tujuannya, agar ketika hujan turun dan menyebabkan jalanan banjir, air tidak langsung dibuang ke saluran pembuangan.

Sebaliknya, air dialirkan terlebih dahulu ke taman yang memiliki area terbuka yang luas, sehingga dapat terserap ke dalam tanah dengan baik. Sisanya, yang tidak bisa terserap ke dalam tanah bisa dialirkan melalui saluran pembuangan.

"Itu juga sudah berkurang lumayan," cetus Yu Sing.

Sungai Tsurumi, Jepang.Takano Oh Hashi Sungai Tsurumi, Jepang.
Adapun untuk pembongkaran beton pada dinding sungai bertujuan agar aliran air yang mengalir di sungai tidak langsung dibuang ke laut.

Sebaliknya, aliran tersebut dibiarkan terserap ke dalam tanah melalui dinding sungai.

Yu Sing meyakini, bekerja sama dengan alam adalah cara terbaik untuk mengatasi banjir Jakarta.

Dengan mengubah paradigma perencanaan, ke depan banjir tak lagi menjadi sebuah musibah, tetapi memang sebagai bagian dari pengembalian tata kota Jakarta sebagai kota air.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau