Beberapa arkelog berasumsi bahwa wilayah Utara dikuasai oleh dinasti Sanjaya, sedangkan wilayah Selatan merupakan daerah kekuasaan Wangsa Sailendra.
Pengecualian untuk candi Borobudur. Bangunan ini berada di perbatasan wilayah kekuasaan dinasti Sanjaya dan Syailendra.
Hal ini menyebabkan bangunan ini memiliki banyak corak. Apalagi jika ditilik dari sejarahnya, Borobudur sebenarnya dibangun sebagai tempat peribadatan umat Hindu.
Pada bangunan aslinya tampak adanya penggunaan perspektif untuk membenarkan pandangan mata. Efek ini lazim ditemukan pada candi-candi agama Hindu.
Jacques Dumarcay, ahli arsitektur dari Perancis bahkan berasumsi bahwa bangunan awal Candi Borobudur berbentuk limas berundak khas bangunan Hindu.
Barulah pada tahap perombakan kedua dilakukan perubahan menjadi bangunan suci agama Buddha.
Pemilihan tempat
Candi-candi di Jawa dibangun berdasarkan prinsip keteraturan. Biasanya, candi dibangun di tempat yang tinggi.
Hal ini didasarkan pada kepercayaan masyarakat pra-Hindu yang menganggap bahwa roh leluhur tinggal di gunung.
Candi-candi di Jawa Tengah sendiri dibangun menurut kontur geografisnya. Seperti candi Gedongsongo yang terdiri dari lima kelompok candi, dibangun menurut kontur lereng Gunung Ungaran.
Pembangunan ini meghasilkan jalur berbentuk tapal kuda pada ketinggian 1.300 meter. Masing-masing kelompok candi terdiri dari satu sampai tiga bangunan kecil yang konon dibangun pada abad ketujuh Masehi, seperti dikutip dari Harian Kompas, 8 Januari 2006.
Ketinggian dan ketersediaan air menjadi salah satu syarat utama pembangunan candi-candi penyembahan.
Kedekatan dengan sumber air menjadi keharusan, karena air merupakan salah satu elemen terpenting dalam sebuah upacara.
Selain itu, candi juga sering dibangun menghadap ke Timur atau Barat. Pengaturan arah ini menunjukkan filosofi kelahiran dan kematian.
Pemilihan tempat dalam membangun candi juga mempertimbangkan gejala alam, seperti suhu, nuansa pagi dan malam, kabut, dan juga kawah gunung berapi.