KOMPAS.com - Pada candi kelompok Utara, hampir semua candi berukuran kecil dan memiliki corak agama Hindu. Sedangkan candi yang ada di Selatan, sebagian besar mendapat pengaruh agama Buddha.
Ciri dari bangunan candi yang bercorak Buddha adalah bangunan-bangunan tersebut mengalami minimal satu kali perombakan besar. Hal ini tidak terlihat pada bangunan candi bercorak agama Hindu.
Harian Kompas, 16 April 1989 menyebutkan, agama Buddha di Jawa Tengah semula memang hanya berkembang di sekitar dataran Prambanan, sedangkan agama Hindu di daerah yang lebih ke utara.
Pada tahun 778 Masehi, di Kalasan telah didirikan sebuah candi Buddha.
Pada tahun 780, agama Buddha sudah cukup kokoh dalam peradaban masyarakat pada masa itu, sehingga mampu membangun candi yang amat luas, yaitu Candi Sewu.
Pada waktu yang bersamaan penganut agama Hindu di Utara juga membangun candi yang tak kalah besarnya, yaitu Candi Borobudur tahap pertama.
Pada tahun 790 Masehi, muncul gerakan besar pada arsitektur dan ikonografi atau seni arca, yang membuat perlambang pada candi Hindu dan Buddha berubah.
Perubahan ini agaknya muncul bersamaan dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan dinasti Sailendra.
Hal ini tampak pada bangunan candi-candi di Utara yang semula direncanakan sebagai candi Hindu, kemudian berubah menjadi candi Buddha.
Perubahan ini tampak pada desain arsitektur di Candi Borobudur, Mendut, Pawon, dan Bojong.
Kemudian pada tahun 840 Masehi, muncul gerakan arsitektur baru, yaitu teknik membangun dinding tebal berisi urukan di dalamnya. Teknik ini populer digunakan baik pada candi Hindu maupun Buddha.
Candi yang mendapat pengaruh ini antara lain, Candi Sambisari, tembok sekeliling Candi Burah, dan pada beberapa bagian Candi Plaosan.
Perombakan Arsitektur Candi Buddha
Perubahan tersebut terwujud dalam aneka macam bentuk, sesuai dengan ciri masing-masing bangunan. Misalnya Candi Kalasan yang diperkirakan dibangun sesudah munculnya pola perubahan kedua. Candi ini aslinya hanya memiliki satu bilik saja.