Rancangan para partisipan
Sebanyak 11 firma arsitek yang berpartisipasi di collateral event di Arsitektur Biennial Venesia 2018 itu adalah AI – CTLA, Asia Raya Studio, Budi Pradono Architects, GeTs Architects, GUJO Architects, MSSM Associates by RSI Group, PDW Architects, CivArch, Wahana Cipta Selaras, kemudian WAR Archtiects serta dari Yoka Sara International.
Penulis berupaya menjabarkan beberapa konsep secara naratif maupun inti dasar desain konstruksinya. Perhatian penulis terutama untuk empat rancangan arsitektur sekolah-sekolah di tapal batas.
Keempatnya dipilih hanya semata sebagai perwakilan, bukan atas dasar pilihan yang lebih baik. Penulis menilai, ke-11 rancangan desain semuanya menggugah kesadaran rancangan arsitektur berciri khas Indonesia. Berikut ini empat desain yang mewakili:
1. "Sekolah Garis Depan" (SGD) karya PDW Architecs
Rancangan pertama berjuluk "Sekolah Garis Depan" (SGD), karya PDW Architecs yang membawa misi desain dengan konsep lingkar belajar kolaboratif di Sorong, Papua Barat.
Mereka bermimpi mengembangkan pendidikan berkualitas bagi masyarakat lokal terdepan. Caranya dengan pendidikan yang baik dan kolaboratif serta mengadopsi nilai-nilai kearifan setempat.
"SGD" adalah kompleks gedung sekolah yang terdiri dari sekolah menengah umum (SMA) dan sekolah kebutuhan khusus (SLB) termasuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, asrama serta perumahan karyawan.
Pendekatan bangunan lahir dari proses menyatukan situs dengan fungsi-fungsinya yang baru. Saling terhubung menciptakan “percakapan antara fungsi dan alam”. Zonasi memberi penempatan area umum antara sekolah menengah dan sekolah kebutuhan khusus dengan penyediaan kompleks area yang terintegrasi.
Bentuk geometris melingkar dari ruang-ruang kelas diadaptasi dari rumah tradisional suku Honai di Papua. Selain itu, tata ruang kelas semi-lingkaran membantu pembentukan bentuk ruang kelas, tata letaknya metode pembelajaran yang kolaboratif, dukungan lingkungan yang lebih hidup yang mengundang partisipasi siswa.
2. "Mau Sekolah" karya WAR Architects
Konsep desain ini juga merespons “In Between Boundaries School”, yang memampukan menggubah paradigma sistem pendidikan konvensional menjadi sesuatu yang asli dalam nilai-nilai lokalitasnya.
Desain ini mempertahankan kemampuannya tumbuh beradaptasi dengan nilai-nilai skolastik saat ini. Situsnya terletak di Maumere, Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, dengan ciri pengaruh era kolonial berperan besar dalam sistem pendidikannya.
Gagasan konsep ini timbul untuk menguji dan membangun sekolah yang baru, yang tidak sama sekali menghilangkan sistem pendidikan kolonial lama, namun berperan menciptakan asimilasi antara batas-batas lama dan sekolah modern yang otentik.
Prosesnya memecah setiap batas-batas desain sekolah lama, meningkatkannya, memungkinkan hadirnya identitas lokal sekolah Indonesia.
Sistemnya adalah menawarkan orientasi terbuka, sesuai dengan prinsip proses pembelajaran era sebelum kolonialisme ada; jauh ke belakang dengan menyerap sistem belajar kuno; duduk bersama dalam kelompok-kelompok di lantai ruang, yang kemudian menjadi meja, kursi, dan akhirnya bertransformasi menjadi ruang kelas yang guyub.
Konsep yang berciri mirip pendopo (Jawa) ini kemudian diperluas, untuk menyediakan sirkulasi terbuka yang berkelanjutan. Seperti yang hampir bisa kita ketemukan di setiap perumahan asli di Nusantara, misalnya rumah gadang, rumah krong bade, rumah joglo, rumah tongkonan, rumah lamin, dll.
Materinya diperoleh dari bahan lokal, seperti rotan, batu bata, dan campuran batu lokal dengan beton, dengan atap bergelombang transparan, memberi cahaya dan sirkulasi udara yag memadai.
Dengan demikian, tiap unit kelas menciptakan sudut pandang yang unik, dengan perencanaan desain melingkar dari modul yang membentuk façade sekolah dalam waktu sama menerima sensitivitas materi lokal.
Konsep "Mau Sekolah" diharapkan memberi pengalaman berbeda dari kegiatan ajar-mengajar, yang membuka katup-katup desain Indonesia modern.
3. "Sungai Bening" karya Asia Raya Studio
Kedekatan dengan negara tetangga menjadikan Desa Sungai Bening sebagai salah satu desa di perbatasan yang penting. Eksistensi negara Indonesia dipertaruhkan dalam konteks relasi antar negara yang saling bertetangga.
Gagasan hadir, tatkala ada sekolah dengan lapangan besar (ruang terbuka) di tengah-tengah desa. Kegiatan sehari-hari yang bervariasi, memicu ide penggunaan ruang terbuka digubah menjadi “ruang bebas terbuka”.
Ini merupakan respons mendukung sekolah dengan sistemnya yang formal, sekaligus membuka interaksi antara sekolah dan lingkungannya. Hal tersebut membentuk aksi simultan sistem pendidikan formal-informal.
Perwujudannya adalah metode ajar-mengajar yang secara tidak langsung berelasi dengan lingkungan sosio-kulturalnya.
Ruang terbuka diintegrasikan dengan bangunan sekolah dengan sebuah struktur-struktur tertentu, yang mengelilinginya. Secara filosofis, bangunan dengan konstruksi tersebut, terilhami dari rumah tradisional Dayak Salako (rumah betang) di desa Sungai Bening.
Rumah betang identik dengan kehidupan komunal di satu bangunan, yang menginspirasi pula model pendidikan dalam mendukung kegiatan formal sekolah.
Salah satu media interaksi sosial di rumah betang adalah pante, teras atau beranda yang digunakan masyarakat untuk bersosialisasi bersama-sama. Rumah tradisional dengan pante inilah yang menjadi "struktur" (teras atau beranda) dari sekolah yang ada.
Menggabungkan proses pembelajaran formal–infomal, seterusnya membuka interaksi siswa dengan lingkungan sosio-kulturnya.
4. "Sekolah Morotai" karya Budi Pradono Architecs
Setiap massa bangunan diselimuti oleh louvers untuk menghasilkan ruang di dalam ruangan. Hal tersebut menciptakan ruang spesifik tersendiri bagi setiap siswanya, memperkaya imajinasi mereka.
Kisi-kisi kayu di rancangan bangunan dibuat dengan teknologi pembuatan perahu tradisional. Teknik bergabung kayu ini adalah kemampuan lokal yang perlu terus dirawat dan dialihgenerasikan.
Semua komposisi massa di sekolah membentuk ruang semi-lingkaran sehingga aktivitas di langit, seperti awan-awan, atmosfir senja, fajar yang berubah-ubah warna sesuai cuaca, matahari yang terbenam, sinar semburatnya kala terbit, bintang-bintang di angkasa yang berkelip indah, selalu dapat dinikmati dari ruang kelas dan perpustakaan.
Komposisi bangunan ini adalah semacam kluster yang menyerupai rangkaian koleksi beragam perahu-perahu, yang berbeda dalam ukuran, skala dan komposisi.
Suatu area di sekolah juga dilengkapi akses wifi yang merangsang siswa dan civitas akademika terhubung ke dunia digital. Keterhubungan tersebut, dengan dunia internet akan memperkaya siswa dan masyarakat yang berdiam di pulau-pulau terpencil.
Bagaimanapun, para arsitek-arsitek itu, dengan caranya sendiri telah memaknai sekolah-sekolah lokal dengan pendekatan-pendekatan baru.
Dengan semangat dan tekad anyar, di area-area yang belum tentu kita tergerak hati dan berbekal keberanian berangkat ke sana, mereka memastikan diri melangkah, berbagi untuk sesama anak bangsa.
Kali ini publik dunia di kota Venesia akan tahu. Setidaknya, mereka melihat betapa optimisnya bangsa ini di tangan arsitek-arsitek ini, Memupus keragu-raguan bahwa tapal-tapal batas terluar itu pernah terabaikan keberadaanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.