Kita masih ingat, ketika puluhan ribu lulusan S-1 berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai calon pengajar muda pada Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), rasanya bukan apresiasi atau gaji yang menjadi satu-satunya sasaran utama. Kesempatan yang diberikan GIM melecut semangat para milenial itu untuk mengabdikan diri atau mengaktualisasikan dirinya.
Oleh karena itu, para calon insinyur milenial ini hanya butuh kesempatan dan pengalaman untuk mengaktualisasikan dirinya di bidang keteknikan, bahkan sejak masih menjadi mahasiswa.
Betapa tidak, bagi sarjana teknik yang baru lulus hanya bisa menjadi insinyur jika mengikuti Program Profesi Insinyur. Tentu, itu butuh uang yang tidak sedikit. Pun, waktu yang akan tersita. Padahal, dengan modal sarjana teknik saja sudah cukup untuk menimba rupiah dari berbagai perusahaan. Walau ironisnya, perusahaan tersebut belum tentu bergerak di bidang keteknikan.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan pihak universitas pun harus berinovasi lebih lanjut. Mereka tidak melulu harus mengandalkan regulasi dan menyesalkan ketika minimnya minat milenial menjadi insinyur.
Mereka bisa bekerjasama dengan perusahaan keteknikan untuk menyediakan program Kerja Praktek, Kuliah Kerja Nyata, ataupun program magang kepada mahasiswa teknik atau calon insinyur milenial.
Jangan tempatkan mereka hanya di pekerjaan administrasi atau belakang meja. Berikan mereka kepercayaan dan program mentoring agar memiliki pengalaman dan kebanggaan dengan bekerja di bidang keteknikan.
Terjunkan mereka di berbagai proyek infrastruktur, baik itu hard infrastructure ataupun soft infrastructure yang digaungkan oleh Presiden RI Joko Widodo. Biarkan mereka menikmati peluh yang bercucuran di setiap rangka beton yang dicornya.
Lihatlah semangat mereka ketika memberikan desain-desain out of the box yang bisa menjadi solusi inovatif. Jejakkan kaki yang terbungkus sepatu bot di galian tanah merah. Berikan senyum dan tawa ketika tangan mereka sedikit tersengat jaringan listrik arus lemah.
Kemudian, imbal jasa atau gaji atau uang saku yang diberikan, bisa mereka tabung atau pergunakan untuk mengikuti Program Profesi Insinyur. Lebih baik lagi, tentunya, jika perusahaan tersebut memberikan beasiswa kepada mahasiswa dan calon insinyur milenial ini untuk menempuh Program Profesi Insinyur. Ini bisa menjadi solusi sangat baik dan berkelanjutan agar stok insinyur berpengalaman terjamin.
Terlebih, tidak sedikit anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang merupakan dosen perguruan tinggi, pejabat Kemenristekdikti, hingga pemimpin perusahaan keteknikan. Pihak-pihak ini bisa berembuk di Sekretariat PII dan memulai kesepakatan ini. Tidak harus langsung besar, tapi bisa dimulai dari satu atau dua perusahaan dan satu atau dua perguruan tinggi, untuk kemudian dievaluasi dan diadopsi oleh perusahaan dan perguruan tinggi lainnya.
Kalau tidak, jangan salahkan para sarjana teknik yang tidak meneruskan langkahnya menjadi seorang insinyur. Jangan selalu gunakan parameter rupiah dalam menarik minat insinyur milenial. Tak heran, jumlah insinyur Indonesia akan semakin berkurang dan Indonesia akan terus kekurangan insinyur.
Alhasil, kebutuhan insinyur itu akan diisi oleh insinyur luar negeri, setidaknya dari negara-negara di Asia Tenggara yang benar-benar memberikan pengalaman dan kesempatan pada kaum milenial untuk langsung terjun di proyek infrastruktur sejak awal.
Nah, apakah kita benar mau membiarkan musibah terus terjadi dari pembangunan infrastruktur? Jangan sampai, Indonesia menjadi darurat insinyur karena sejak saat ini Indonesia sudah darurat insinyur milenial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.