Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlambatan Bisnis Properti Terus Berlanjut

Kompas.com - 20/11/2017, 13:31 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KompasProperti - Perlambatan bisnis properti diprediksi masih terus berlanjut hingga tutup tahun 2017 dan awal 2018.

Kendati tingkat penjualan pada beberapa proyek properti tertentu terlihat menggeliat, namun hal itu belum cukup kuat membangkitkan gairah pasar properti. 

Hal ini terungkap dalam laporan Bank Indonesia (BI) mengenai Survei Harga Properti Residensial yang dirilis 13 November 2017.

Laporan tersebut menyebutkan, responden yang disurvei memperkirakan perlambatan bisnis properti bakal berlanjut sampai akhir tahun ini.

Untuk diketahui, responden yang disurvei merupakan pengembang yang beroperasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Banten serta 15 kantor perwakilan dalam negeri Bank Indonesia.

Ilustrasi rumahBrianAJackson Ilustrasi rumah
Sebagian besar responden berpendapat, faktor utama yang menghambat pertumbuhan bisnis properti adalah tingginya suku bunga KPR. Responden yang menjawab ini sebanyak 20,36 persen.

Sementara penyebab berikutnya adalah uang muka rumah (16,57 persen), pajak (16,13 persen), lamanya perizinan 14,45 persen, serta kenaikan harga bahan bangunan sebanyak 11,86 persen.

Namun demikian, ada satu penyebab yang membuat kondisi bisnis properti bakal semakin berat pada tahun-tahun mendatang. Pemicunya adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 serentak, dan juga pemilihan presiden (pilpres) 2019.

Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk Adrianto P Adhi menuturkan, yang terjadi saat ini investor masih enggan belanja atau investasi properti.

"Mereka masih wait and see. Mungkin karena tahun politik ke depan yang menimbulkan kekhawatiran. Karena itu, kami berharap masyarakat Indonesia harus semakin dewasa menyikapi tahun politik, sehingga bisnis tetap jalan seperti biasa," ujar Adrianto kepada KompasProperti, Senin (20/11/2017). 

Ilustrasi rumahThinkstock Ilustrasi rumah
Direktur PT Ciputra Development Tbk Artadinata Djangkar berpendapat senada. Menurut dia, penyebab utama bukan faktor makro enonomi, harga bahan bangunan, atau perizinan, tapi lebih merupakan sentimen pasar investasi pada tahun pilkada.

"Namun demikian, kami menduga meskipun belum akan pulih, tahun depan akan lebih baik dari tahun ini. Kalaupun belum pulih seratus persen, market investorlah yang masih lemah," kata Arta.

Lemahnya pasar investor ini memang terlihat dari tingkat penjualan properti yang justru didominasi end user (pengguna akhir).

Summarecon mencatat, penjualan produk mereka seharga Rp 1,5 miliar ke bawah laku keras, dan terus berjalan hingga saat ini.

Baca juga : Summarecon Raup Rp 198 Miliar dalam 3 Jam

"Sementara untuk harga di atas Rp 2 miliar masih berat," cetus Adrianto seraya menambahkan, terlebih untuk produk-produk premium, pasarnya masih sangat terbatas.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau