Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali Ritel Modern Indonesia

Kompas.com - 05/11/2017, 14:42 WIB
Dani Prabowo

Penulis

Tak pelak, bila mal yang mengangkat konsep gaya hidup dan banyak menyediakan food and beverage tetap ramai dikunjungi masyarakat. Hal ini pun sejalan dengan data riset yang dikeluarkan Bank Indonesia.

"Berapa orang bawa tas belanja itu bisa diukur, bisa dihitung berapa banyak yang bawa tas belaja. Mereka (cenderung) makan dan minum, leisure," katanya.

Roy lantas merujuk grafik leisure yang dikeluarkan Bank Indonesia yang menunjukkan adanya pertumbuhan 0,3 persen, dari 4,58 persen tumbuh menjadi 4,87 persen. Sementara sektor ritel, meski mengalami pertumbuhan, sangat tipis.

"Ritel di dalam BI hanya tambah 0,1 persen," ujarnya.

Faktor lain disebabkan  kecenderungan masyarakat untuk menabung akhir-akhir ini. Namun, bukan untuk persiapan masa depan, tabungan tersebut biasanya juga akan digunakan untuk leisure.

Setidaknya, hal ini juga dapat dilihat pada saat adanya kegiatan travel fair beberapa waktu terakhir. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke sana dan memborong tiket perjalanan dan hotel.

"Jadi pola untuk belanja dengan keluarga, ayah, ibu, anak dengan troli, itu sudah enggak zaman lagi sekarang. Masih ada, tetapi tidak sesignifikan seperti lalu. Itu yang membuat turunnya ritel di era modern," katanya.

Masyarakat kelas menengah ke bawah

Kembali setelah Jokowi-JK dilantik. Jika melihat kondisi saat ini, kondisi perekonomian Indonesia dinilai cukup baik secara makro.

Hal itu, kata Roy, terlihat dari inflasi yang berada di kisaran 4 persen plus-minus 1 persen, defisit transaksi berjalan 2,8 persen, dan kondisi non-performing loan yang secara umum berada di kisaran 3,8 persen.

Selain itu, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mencatat, pertumbuhan investasi Kuartal III-2017 naik 13,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Dashboard kita bagus. Tapi, kenapa hilirnya jelek? Kenapa sektor hulu, kemudian mengalir ke hilir enggak perform?" keluhnya.

Lambannya pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan saat itu dinilai menjadi akar persoalannya. APBN-P yang baru cair pada Juli membuat situasi ritel kacau. Hal tersebut rupanya terus berdampak hingga saat ini.

Kondisi tersebut, menurut dia, juga diperkuat dengan lemahnya serapan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Desa yang dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah.

Padahal, di saat yang sama banyak masyarakat yang tergolong kelas menengah ke bawah tinggal di kabupaten/kota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com