JAKARTA, KompasProperti — Tak heran apabila Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo Roy N Mandey menyebut kondisi ritel Tanah Air tengah tertekan. Padahal, pada saat yang sama kondisi perekonomian Indonesia secara makro dinilai cukup baik.
Perubahan gaya hidup masyarakat sedikit banyak menjadi faktor pendorong tertekannya industri ritel dalam negeri.
Bukan hanya shifting dari cara belanja konvensional ke daring, tetapi juga pilihan masyarakat untuk cenderung menghabiskan uang ke sektor leisure.
"Memang sekarang situasi retail ini sudah di bawah performa 2,5 tahun ini," kata Roy di Jakarta, Rabu (1/11/2017) lalu.
Tertekannya pasar ritel Indonesia dimulai setelah Indonesia resmi dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2014 lalu.
Saat itu, ritel Indonesia sempat mengalami masa jayanya pada tahun 2012-2013. Pertumbuhan sektor ini melesat antara 14-15 persen. Cukup signifikan apabila dibandingkan pertumbuhan perekonomian nasional saat itu.
"Saat terjadi puncaknya itu memang saat itu kita memiliki pendapatan per kapita menarik. Kami setuju itu. Jadi pada saat masyarakat Indonesia memiliki pendapatan per kapita di atas 3.000 (dollar AS)," katanya.
Tingginya pendapatan per kapita masyarakat rupanya juga mengubah gaya hidup mereka. Hal ini ditambah pertumbuhan internet of things atau IOT, yang membuat pasar e-commerce mulai bermunculan.
Masyarakat, menurut dia, pada saat itu hingga kini cenderung mengikuti "apa kata media sosial".
Sementara di satu sisi, sosial media dipenuhi kalangan "The Have" yang gemar mempertontonkan kegiatan mereka, mulai dari nongkrong di kafe, liburan, hingga bepergian ke tempat wisata.
Belanja, menurut Roy, memang masih menjadi kebutuhan masyarakat, tetapi tidak banyak. Hal ini juga tidak terlepas dari tumbuhnya jasa pick up services di Tanah Air yang membantu masyarakat untuk berbelanja, seperti Go-Jek, Uber, dan Grab.
"Jadi lebih dimudahkan. Semakin mudah segala sesuatu, semakin tinggi pendapatan, membuat orang akhirnya tidak menjadikan belanja itu sebagai sesuatu gaya hidup yang utama," ujarnya.
Mereka yang bertahan
Tak salah jika riset Retail Development Index 2017 yang dikeluarkan AT Kearney menyebut Indonesia berada pada posisi delapan dunia. Posisi ini melorot tiga level dibandingkan pencapaian tahun lalu yang masuk dalam lima teratas dunia.
Roy mengatakan, sejak adanya jasa pick up services, semakin sedikit keluarga yang datang ke mal untuk berbelanja. Meski pergi ke mal, tujuan mereka justru hanya untuk nongkrong, entah di kafe atau restoran sambil bercengkerama dengan kolega.