JAKARTA, KompasProperti - Polemik reklamasi di kawasan Teluk Jakarta kembali mencuat, setelah Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mencabut moratorium.
Nama Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA ITB) disebut-sebut berada di balik pemberian lampu hijau itu.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) yang juga sekaligus Ketua Tim Panel Ahli Independen IA ITB, Bernardus Djonoputro angkat bicara soal pembentukan Tim Panel Ahli Independen IA ITB.
Tim tersebut sebelumnya telah bekerja dalam rentang waktu Juli-Oktober 2016 untuk memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait polemik reklamasi Teluk Jakarta.
Hasil kerja tim yang terdiri atas para ahli di bidangnya masing-masing itu, menurut Bernardus, telah dipaparkan di kantor pusat IA ITB pada 16 Oktober 2016.
"Dalam kegiatan ini masing-masing anggota tim bekerja secara pro-bono (tidak dibayar) sesuai keahlian, dan pendapat masing-masing adalah independen tanpa afiliasi kepada organisasi apa pun, dan tanpa pembiayaan dari organisasi mana pun," kata pria yang akrab disapa Bernie dalam pesan singkat kepada KompasProperti, Sabtu (21/10/2017).
Tim itu terdiri atas sejumlah ahli dari bidang oceanografi, perkotaan, reilient and climate change, pesisir dan kelautan, ahli aturan dan perundang-undangan tata ruang. Selain itu, juga terdapat ahli geologi, geodesi dan remote sensing, serta pemetaan.
Dalam berkas paparan yang disampaikan kepada KompasProperti, ada beberapa hal yang menjadi poin di dalam rapat tim.
Pertama, reklamasi bukan merupakan solusi atas fenomena land subsidence yang mayoritas terjadi di utara Jakarta dan tidak homogen. Selain itu, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa pengambilan air tanah merupakan penyebab utama dari land subsidence.
"Faktor penyebab (terjadinya) land subsidence (yaitu) jenis lapisan tanah, beban konstruksi Jakarta dan konsumsi air tanah," demikian bunyi laporan tersebut.
Di samping itu, tren peningkatan muka air laut dinilai sangat kecil bila dibandingkan tren land subsidence.
Tim ahli juga sepakat bahwa proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), belum mempertimbangkan aspek geologis Jakarta. Risiko investasi dari proyek juga perlu dikaji dan divalidasi setiap tahapannya.
Kalaupun reklamasi akan tetap dilanjutkan, maka yang harus diperhatikan adalah potensi peningkatan arus laut hingga 300 persen di beberapa titik.
Peningkatan itu berdampak pada potensi erosi sedimentasi. Implikasi dari kegiatan ini yaitu terhadap pelayaran, keamanan, dan ekosistem.
Kesimpulan
Sementara itu, di dalam kesimpulan, Tim Panel menyampaikan input berupa policy brief bertajuk Pengelolaan Kawasan Pesisir Jakarta.
Dalam policy brief tersebut, ada beberapa hal untuk menjawab pertanyaan terkait delapan risiko manajemen, meliputi asumsi yang menjadi dasar belum pasti, magnitude ekonomi dan dampak kegagalan, hingga tumpang tindih UU.
Selain itu, ada pula terkait manajemen bencana, peningkatan arus pasca-ekonomi, kedaulatan atas tanah baru, penanganan penyebab banjir, dan proses material dan pengambilan material.
"Perlu adanya validasi model hidrodinamika air dengna mempertimbangkan 13 sungai eksisting yang bermuara di Jakarta. (Serta) perlu adanya model sedimentasi-erosi dan perubahan garis pantai serta fluktuasi," tulis laporan ini.
Dalam kesimpulan juga disampaikan rencana solusi yang meliputi empat hal, yakni pengembalian reservoir hulu-hilir, pengembalian flood plain zone, penghentian pengambilan air tanah berlebihan dengan sistem perairan terintegrasi, serta kewenangan aturan yang harus dipaduserasikan antara konflik tata ruang, air tanah, dan tanggung jawab.
Rekomendasi
Guna menciptakan kepastian hukum, usaha dan hak hidup layak masyarakat, serta menghindari dampak sistemik ke seluruh kawasan dan persoalan serupa di Indonesia, maka penanganan kawasan pesisir Teluk Jakarta harus memperhatikan lingkup Jabodetabekpunjur, 28 juta orang yang terdampak, serta daerah aliran sungai dengan 13 sungai dari hulu ke hilir.
Selain itu, pengendalian sumber daya air lngkungan di wilayah DKI Jakarta melalui penyediaan air baku yang cukup bagi warga.
"Segera terapkan kebijakan pengembalian air tanah melalui mekanisme pajak dan aturan lainnya. Aplikasi teknologi seperti desalinasi dan pemanfaatan air laut harus menjadi pilihan utama dan pilihan wajib bagi pulau-pulau baru," demikian bunyi rekomendasi itu.
Tim Panel setuju, kerangka penanganan banjir rob akibat kenaikan muka laut hanya dengan proyek NCICD tahap A.
Selanjutnya, skenario ketahanan bencana dan daerah terdampak, untuk 25 tahun dan 40 tahun kedepan dilakukan secara komprehensif oleh badan terpusat, dengan melakukan kajian optimalisasi fungsi NCICD tahap A.
Moratorium pembangunan kawasan reklamasi untuk menetapkan kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir Teluk Jakarta beserta analisis terhadap dampak lingkungannya.
"Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi kementerian utama, serta bersama Kementerian LHK dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Masa moratorium untuk perencanaan maksimal 12 bulan," lanjut laporan dalam rekomendasi.
Di akhir rekomendasi, Tim Panel menyatakan, kelangsungan hidup layak warga pesisir Jakarta, ekosistem biota laut, mangrove dan lainnya harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam rencana Kawasan Pesisir Teluk Jakarta.
Adapun untuk jangka sedang 2-3 tahun, pemerintah diharapkan memadupadankan aturan dan UU yang berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan pesisir.
"Proyek ini harus memberikan manfaat bagi rakyat setempat terutama adalah nelayan," tutup rekomendasi tersebut.