JAKARTA, KompasProperti - Dalam memenuhi kebutuhan hunian di DKI Jakarta bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), setidaknya ada empat hal yang menjadi persoalan utama, yaitu penyediaan lahan, pembiayaan, izin dan pajak.
Ketua Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan, dengan mengatasi keempat persoalan itu, program pemilikan rumah dengan uang muka atau down payment (DP) nol persen sangat mungkin dilaksanakan.
Program tersebut merupakan gagasan dari pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang baru saja dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
Baca: Agar Janji DP Rumah 0 Persen Terwujud, Anies-Sandi Harus Melakukan Ini
Dalam hal izin dan pajak, misalnya, kedua persoalan itu acap kali membuat harga hunian menjadi tinggi. Untuk itu, perlu adanya intervensi pemerintah guna memuluskan proses perizinan dan pajak.
"Sekarang saya katakan, izin dan pajak jadi kewenangan pemerintah. Kalau dinolkan bisa kan?" kata Zulfi kepada KompasProperti, Senin (16/10/2017).
Untuk penyediaan lahan, Pemda DKI dapat bekerja sama dengan pemda tetangga, seperti Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Depok.
Kerja sama serupa juga dapat dilakukan Pemda DKI Jakarta dengan pengembang yang memiliki aset lahan di wilayah DKI Jakarta.
"Dalam konteks tanah, bisa nggak punya tanah di kabupaten lain di Bodetabek. Asal itu menjadi aset daerah, dengan catatan aksesibilitasnya diberi kelancaran," kata Zulfi.
Dengan membeli sejumlah lahan di daerah sekitar DKI Jakarta, Pemprov DKI dapat membangun kawasan hunian yang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di Jakarta.
Namun, Pemda DKI juga harus memperhatikan kemudahan akses transportasi bagi masyarakat yang hendak tinggal di wilayah tersebut.
Pasalnya, bila biaya transportasi dipatok tinggi, masyarakat yang tinggal di sana dan bekerja di Jakarta, tentu perlu merogoh kocek lebih dalam.
"Artinya gini, transportasi umum itu ditingkatkan. Sekarang kan sudah mulai itu Transjakarta sampai Bekasi. Dengan konsep Anies-Sandi Rp 5.000 perak, itu dikembangkan dengan adanya koneksi angkutan umum yang terpadu dari sekitar Jakarta," terang Zulfi
Untuk kerja sama dengan pengembang, Anies-Sandi dapat mencontoh cara mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam membangun Simpang Susun Semanggi.
Lewat Peraturan Gubernur DKI Jakarta, Ahok memberi syarat kepada perusahaan swasta yang hendak membangun properti melebihi aturan yang ada, dengan membayar kompensasi kenaikan koefisien luas bangunan (KLB). Kompensasi itu lah yang digunakan Ahok untuk membangun Simpang Susun Semanggi.
Menurut Zulfi, cara tersebut dapat dilakukan Anies-Sandi, bila ada pengembang yang ingin membangun properti melebihi batas yang ditentukan.
Kompensasi yang diberikan dapat digunakan untuk membeli lahan atau membangun hunian bertingkat (highrise) di lahan-lahan milik Pemda DKI.
"Walaupun menurut saya (cara Ahok alihkan kompensasi untuk bangun SS Semanggi) tidak tepat, kenapa? Karena itu yang dikenakan pajak dari konteks properti, jadi kan dikenakan kompensasi harusnya uang itu untuk properti, bukan buat jalan," kata Zulfi.
"Itu salah sasaran. Kalau diambil dari properti harusnya dibuat perumahan untuk MBR, untuk rusun," imbuhnya.
Sedangkan untuk pembiayaan uang muka, ia menambahkan, masalah itu dapat diatasi dengan membentuk lembaga penjamin.
Lembaga itu nantinya bertugas membantu MBR yang memerlukan pinjaman uang muka atau justru membiayai pemilikan rumah tersebut.
"Boleh saja Pemda DKI (buat). Karena di Pemda DKI ada yang namanya Jamkrida, ada Bank DKI, koperasi, BPR, ayo duduk bareng buat lembaga penjaminan untuk MBR yang tidak punya collateral (jaminan)," tuntas Zulfi.