Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berpikir Lari dari "Neraka" Jakarta...

Kompas.com - 24/08/2017, 11:16 WIB

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, stres bisa menjadi cemas atau depresi sangat bergantung pada daya tahan seseorang menghadapi tekanan dan besarnya tekanan yang terjadi. Daya tahan itu dipengaruhi faktor genetika, pola asuh, kualitas gizi, kondisi lingkungan, hingga sistem pendidikan.

Dengan semua kenyataan itu, apakah Jakarta sesungguhnya makin layak untuk dihuni? Apalagi, kota ini terus menghadapi masalah serius yang terus menggunung.

Bicara fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos) untuk hiburan masyarakat yang terus berkurang. Kemiskinan membuat ketegangan sosial yang makin sulit diredakan akibat kelangkaan ruang hidup yang sehat untuk bersoalisasi, berolahraga, belajar, berkesenian dan berbagai aktifitas kreatif lainnya. Akibatnya banyak ketegangan berubah menjadi kekerasan, baik yang bersifat pribadi maupun massal.

Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000 menyebutkan bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, namun JICA tak mengada-ada.

Buktinya, pengamatan oleh produsen GPS, TomTom, pada jam jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City, dan Bucharest.

Kemacetan yang demikian hebat ini tentu saja membuat mobilitas orang Jakarta sangat lamban sehingga mempengaruhi rendahnya produktifitas mereka. Sementara itu, akibat tingkat stres yang terus meningkat, warga Jakarta makin gampang kehilangan akal sehat. Orang Jakarta jadi gampang marah, bahkan mengamuk?

Kini, jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang-pergi dari dan ke tempat kerja. Itu pun masih harus menghadapi siksaan oleh sarana angkutan umum yang tidak nyaman dan tidak aman.

Mereka juga harus selalu waspada dengan para pencopet dan pelecehan seksual yang selalu bergentayangan pada jam-jam padat.

Plus, yang tak kalah menyakitkan adalah kesenjangan ekonomi yang kian mencolok. Seolah tak punya simpati, kaum berduit bergaya dengan mondar-mandir menggunakan mobil mewahnya yang bak raja minyak dari Timur Tengah di jalan-jalan raya.

Di sisi lain, di pusat-pusat belanja mewah mereka suka berdandan bak selebriti Hollywood dengan aksesoris menempel di tubuhnya, seolah ingin adu pamer brand Fendi, Versace, Oscar de La Renta dan sebagainya.

Selain kaum elite ini tak perduli bahwa penampilan mereka mengundang iri dan dengki banyak orang, mereka juga sebetulnya tengah "mengundang" kejahatan.

Bagi mereka yang tak perduli dosa dan penjara, kesenjangan itu kerap menjadi pemicu untuk melakukan kejahatan, termasuk penyerangan seksual. Jangan heran, banyak orang tua di Jakarta gelisah setiap kali anak-anak mereka meninggalkan rumah.

Sampai sekarang, tak ada orang berani memberi kepastian kapan situasi menakutkan itu akan reda. Catatan polisi bahkan menunjukkan angka yang menyeramkan. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya misalnya, tahun lalu aksi kejahatan terjadi setiap 12 menit 18 detik.

Secara keseluruhan, terjadi 43.149 kasus kejahatan di sepanjang 2016. Dari fakta ini, perampokan melesat 12 persen menjadi 719 kasus, sementara perkosaan naik 6 persen menjadi 71 kasus.

Boleh jadi, kenyataan itu bisa saja jauh lebih buruk. Ini tergambar dari hasil survei Lentera Sintas Indonesia yang dirilis Juli 2017 lalu. Jumlah kasus perkosaan sesungguhnya, menurut survei ini, jauh lebih tinggi.

Buktinya, 93 persen reponden survei tidak mau melaporkan ke polisi perkosaan yang dialami. Alasan utamanya adalah takut dicemooh, bahkan dikucilkan keluarga, teman, bahkan masyarakat.

Sekali lagi, apakah Jakarta akan terus begini? Apakah Anda masih nyaman menjadi bagian Jakarta, yang sedang berkembang mengkhawatirkan? Adakah keinginan mencari kota lain yang lebih bersih, aman, dan nyaman? Bukan kota yang bak "neraka"...

Baca:  Kota Tak Ramah Pejalan Kaki Itu Bernama Jakarta...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com