Dalam diskusi para perencana senior pada salah satu grup media sosial (medsos) yang saya banggakan, kami membahas istilah Perencanaan 3D (tiga dimensi). Sebuah perenungan untuk berpikir “business not usual” bagi kalangan perencana senior.
Seperti dilansir salah satu harian berbahasa Inggris terkemuka Indonesia Sabtu lalu, warga jenis baru ini mempergunakan saluran utilitas jalan tol informasi seperti WhatsApp, Twitter, Path, untuk berjuang dan bertahan.
Peperangan di kota baru ini berkembang menjadi wahana untuk menggapai supremasi kekuasaan “pseudo-intelectual” di antara para warga yang bisa sangat kritis ini. Semua warga mendadak seolah intelek, terjadi kesamaan arena berjuang, dengan fokus-fokus perjuangan mulai dari ideologi, pemikiran baru, sampai pelecehan terhadap wibawa seseorang.
Kita pun dituntut untuk lebih memahami bentuk Kota Baru ini. Kota ini memiliki teritori non-cadaster. Timbulah format deliniasi wilayah baru seolah-olah ada level kecamatan di situ. Kecamatan Alumni, Kelurahan SMABdg, MasaKecilBdg, AlumniSDKualaLumpur, TimPasukan-Pramuka.
Di kota baru ini, saya dan anda punya lingkungan kota yang berbeda. Bentuknya adalah grup-grup medsos masyarakat.
Di kawasan khusus WA Group saya, ada Kecamatan Universitas, di dalamnya terdapat cluster desa AlumniPlanologi-ITB, PengurusYayasan-A, KeluargaBesar-Ex-DrumBand, dan sebagainya.
Di gawai pintar saya yang termasuk dalam kelompok renta teknologi, ada 53 WA group, di luar kelompok untuk pekerjaan kantor. Itu sama dengan perwilayahan 53 Kecamatan, yang notabene lebih besar dari kota Jakarta hanya punya 44 kecamatan.
Coba bayangkan, kalau di kota Jakarta ada gubernur, wali kota dan perangkat keamanan untuk menjaga ketertiban. Padahal di kota baru saya dengan jumlah kecamatan lebih banyak dari Jakarta, tidak tampak satu gelintir pun aparat satpol PP. Yang ada mungkin beberapa pejuang kaidah dan akidah denominasi tertentu.
Baca: Pikachu, Charmander, dan Ahmad Albar di Kota Kita
Sebaran lokasi fisik para warganya pun bisa di kota yang sama, di pelosok gunung atau di mancanegara. Berinterakasi pada saat yang bersamaan, tidak perduli jam kantor, pagi, siang, malam, atau di sela-sela bercengkerama dengan kekasih.
Menarik dikaji, seperti kota pada umumnya, ketika ada melibatkan emosi dan empati yang bisa menyinggung dan memicu perasaan para warga, seperti kasus salah bicara dan pilkada DKI, warga dapat serta merta secara instant berkumpul di ruang-ruang publik yang sebenarnya.
Nah, ternyata ada jembatan antara dimensi internet-of-things dan dimensi ruang kota tempat tinggal kita. Jembatan itu bernama ‘baper’, atau bawa perasaan. Ketika kenyataan ruang-ruang dialektika antar netcitizen memasuki alam rasa dan harga diri, maka rasionalitas menjadi mengemuka dan tak jarang mendapatkan pemecahan masalah nya di ruang publik.
Lalu seperti apa kota masa depan kita seharusnya? Tugas para teknokrat di pemerintahan perlu memikirkan kota 3D: Desentralisasi, Demokratisasi, Digital.
Hemat saya, perencanaan kota 3D membutuhkan pemikiran-pemikiran out of the box, untuk memanusiakan warga kota, menjamin kehidupan bermartabat, dan menjunjung kesejahteraan warga sebagai misi yang diemban bersama. Bukan baper!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.