JAKARTA, KompasProperti - Fenomena belanja daring atau online shopping, dan perubahan gaya hidup masyarakat Jakarta menyebabkan pusat perbelanjaan berkonsep strata title atau dikenal dengan sebutan trade center, seperti Glodok menjelang ajal.
Menurut pengamat ritel Andreas Kartawinata, dua hal ini menjadi penyebab utama runtuhnya pamor pusat belanja macam Glodok.
"Mereka kalah karena tidak menawarkan pengalaman belanja yang berbeda. Mereka juga kalah oleh cara belanja yang praktis yang ditawarkan pengelola online shopping," ujar Andreas kepada KompasProperti, Jumat (14/7/2017).
Andreas melanjutkan, pusat belanja dengan DNA serupa yang berlokasi tak jauh dari Glodok, WTC Mangga Dua, dan Mangga Dua Square, juga menunjukkan fenomena serupa; hidup segan mati tak mau.
Padahal, pamor Glodok, WTC Mangga Dua, dan Mangga Dua Square, demikian digdaya selama kurun 1980-an, hingga 2000-an.
"Kalau dulu, orang belanja elektronik patokannya Pasar Glodok," kata Asisten Manager Pasar Glodok PD Pasar Jaya, Aswan.
Pada era 1980-an, kenang Aswan, masyarakat baik dari kalangan mana pun pasti akan pergi ke Glodok bila mencari barang elektronik. Kendati tak jarang rumah mereka jauh dari pasar yang berada di kawasan Jakarta Barat itu.
"Saya ingat orang tua saya, kalau mau beli apa-apa pasti ke Glodok. Walaupun, rumahnya jauh. Dari Tangerang, Bekasi, Karawang, pasti ke Glodok," kisahnya.
Kini, masyarakat lebih memilih mencari barang elektronik di pusat perbelanjaan yang berada dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka.
"Jadi pembeli di sini sudah banyak yang dipotong sama mal-mal yang ada di pinggiran Jakarta," ucapnya.
Alhasil, dari total 1.880 kios yang ada di Pasar Glodok, yang tercatat aktif berdasarkan data Pasar Jaya hanya 1.167 kios. Ini berarti 48 persen kios di sana tutup dan tak beroperasi.
Namun, Aswan menyebutkan, bila melihat realita di lapangan, pedagang yang non-aktif sebenarnya jauh lebih banyak.
"Mereka memilih menutup, dan menyewakan kiosnya," kata dia.
Memang, kata Andreas, perubahan masif terjadi pada sektor properti ritel baik di Jakarta maupun kota-kota penyangga.
Konsepnya pun mengalami perubahan signifikan, untuk tidak dikatakan lebih dinamis, yakni lifestyle mall concept.
"Jika ada lifestyle mall baru didirikan di area yang sama dengan trade center, pasti yang terakhir ini akan ditinggalkan pelanggannya," kata dia.
Yang kedua, imbuhnya, jenis produk yang dijual di pusat belanja trade center juga mudah didapatkan secara online shopping.
Maka, wajar bila banyak pelanggan beralih untuk mendapatkan pengamalan belanja secara digital.
Namun demikian, menurut Andreas, pusat belanja trade center masih bisa bertahan lama bila pengelolanya cukup jeli dan mau mengubah konsep mengikuti perkembangan zaman.
Pengelola dan pemilik toko seharusnya membuka juga online store sebagai wahana pamer produk-produk mereka.
"Agak sulit untuk pengelola pusat belanja strata title, meskipun mereka kreatif misalnya banyak bikin acara, tapi yang banyak datang nanti hanya yang nonton, yang beli nggak ada," cetus Andreas.
Spesifik
Tak hanya pusat belanja trade center di kawasan Glodok dan Mangga Dua, Andreas juga menyoroti ruang ritel serupa yang dikembangkan Sinarmas Land di kawasan lain.
Menurut Andreas, Sinarmas Land dengan merek dagang ITC-nya masih cukup berhasil mempertahankan pamor.
"Mereka punya ciri khas dan punya banyak konsumen loyal. Sebut saja ITC Cempaka Mas, ITC Kuningan, ITC Permata Hijau, dan ITC Fatmawati," tambah dia.
Saat ini, kita mengenal adanya pusat belanja yang dikelola secara syariah. Pusat belanja ini menawarkan busana muslim, dan berbagai perlengkapan yang mendukungnya.
"Preferensi orang sekarang sudah berubah. Mereka ke mal bukan lagi untuk belanja barang. Tapi lebih kepada experience dan lifestyle. Hal ini yang tdiak diperoleh dari trade center macam Glodok," tuntas Andreas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.