Memasuki hari pertama musim dingin, Melbourne menampakkan dirinya sebagai kota Australia yang elok dan dinamis di belahan bumi selatan khatulistiwa.
Tanpa mengurangi kecepatan pergerakan kota, langkah-langkah warga yang kian kosmopolitan terus melenggang dengan koleksi lama pakaian musim dingin, atau model-model baru. Maklum, ini ibu kota busana-nya benua Kanguru.
Saya ditemani secangkir latte di café European, persis di depan gedung parlemen Negara bagian Victoria. Rasanya lain dari biasa.
Tempat yang melegenda sarat lobi politik, para pengacara top, konglomerat dan politisi mampir untuk sekadar secangkir flat white atau anggur ini terasa begitu bergairah.
Itulah sekelumit potret kota yang sepanjang satu dekade terakhir selalu masuk dalam daftar "Kota Paling Layak Huni" yang dikeluarkan hampir semua indeks yang ada di muka bumi.
Namun ada yang lain hari ini. Angin sejuk terasa mengiris ketika saya mengikuti bincang kopi dengan teman.
Pekan lalu, Melbourne terasa beku. Ini karena Manchester yang ribuan kilometer jauhnya, negeri asal kebanyakan warga Melbourne diguncang teror. Teror terjadi saat Ariana Grande menggelar konser.
Dua hari setelahnya, teror serupa meledak di Kampung Melayu. Tak kurang lima orang meneninggal, menyisakan potongan tubuh bergelimpangan.
Kota-kota kita semakin terbuka dan instan. Egalitarian menjadi menu utama, karena dominasi informasi tidak lagi di tangan kalangan elite.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.