JAKARTA, KOMPAS.com - Ketiadaan infrastruktur listrik dan air kerap menjadi penghambat okupansi rumah subsidi.
Oleh sebab itu, pemerintah menekankan pengembang untuk melakukan studi kelayakan sebelum membangun rumah tersebut.
"Setiap pengembang harusnya lebih awal menetapkan lokasi yang memang bisa disuplai listrik. Kecenderungan pengembang adalah tidak melakukan konsultasi dengan PLN apakah di situ ada daya atau tidak, setelah terbangun baru minta tapi dayanya tidak tersedia," kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin, di Jakarta, pekan lalu.
Namun, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) melihat hal itu sebagai sebuah upaya yang mestinya dilakukan pemerintah, bukan pengembang.
Tugas utama pengembang adalah membangun rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bukan ikut menyediakan infrastruktur di dalamnya
"Studi kelayakan bisa saja dilakukan tapi itu kan tanggung jawab pemerintah. Program Sejuta Rumah kan punya pemerintah terus kenapa infrastruktur harus kami yang sediakan, apa salah kami?" kata Ketua Umum Apersi Junaidi Abdillah, saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (5/1/2017) malam.
Junaidi menambahkan, jika swadaya dari kantong pengembang, pemenuhan infrastruktur tersebut tak mungkin dilakukan.
"Untuk bangun rumahnya saja sudah mahal, apalagi kalau tambah infrastrukturnya sendiri. Kalau komersial ini mudah, tapi MBR? Saya rasa tidak. Bukannya pengembang ingkar tapi pemerintah harusnya menyediakan itu," tandas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.