Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Kota Berketahanan, Jakarta Harus Inklusif

Kompas.com - 28/11/2016, 18:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

Di antaranya, bekerjasama dengan 100 Resilient Cities yang dipelopori The Rockefeller Foundation, menggelar lokakarya perdana menuju kota yang berketahanan pada pertengahan November 2016.

Baca: Karena Komitmen Ahok, Jakarta Masuk Program "100 Resilient Cities"

Lokakarya ini diikuti oleh berbagai unsur, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya.

Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Oswar Mungkasa menjelaskan, Jakarta adalah salah satu kota terbesar di dunia dengan masalah yang sangat kompleks.

Masalah itu antara lain naiknya muka air laut, penurunan tanah, banjir, pengelolaan limbah padat dan limbah air, kelangkaan air, rendahnya kualitas air, kemacetan, dan polusi.

"Karena itu, untuk menuju Jakarta yang lebih kuat, ke depannya, kami perlu memastikan bahwa ketahanan kota harus menjadi perhatian dalam perencanaan untuk komunitas, infrastruktur, dan lingkungan hidup," terang Oswar saat temu media di Jakarta, Kamis (17/11/2016).

Lokakarya tersebut merupakan langkah awal dari proses pemahaman terhadap Jakarta. "Kami ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih nyaman untuk dihuni," timpal Oswar.

Menanggapi hal ini, Bernie berpendapat, resilience, atau ketahanan memang mencakup semua aspek kehidupan perkotaan untuk bisa menghadapi tekanan dan perubahan drastis.

Ketahanan harus mencakup aspek ketahanan sosial kemasyarakatan, ekonomi, dampak perubahan iklim dan bencana alam, fisik dan infrastruktur, maupun kelembagaan dalam menghadapi perubahan drastis.

Pasalnya, tingkat ketahanan sebuah kota berkembang bersama perubahan itu sendiri. Dengan demikian, konsep ketahanan harus dilihat sebagai proses yang terus berkembang.

Inklusif

Jakarta yang terkait dengan kawasan penyangga lainnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan 28 juta jiwa memiliki tantangan layaknya megapolitan lainnya di dunia seperti New York, Tokyo, dan London.

"Menurut saya kecepatan kota Jakarta dalam menciptakan ketahanan dan kemampuan adaptasi masih sangat lambat, dibandingkan kecepatan berkembangnya potensi bencana akibat perubahan iklim, tekanan jumlah penduduk, disparitas ekonomi," lanjut Bernie.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Pekerja beristirahat sebelum merampungkan pembangunan proyek jalan layang Simpang Susun Semanggi, Jakarta, Selasa (1/11/2016). Pembangunan jalan layang tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengurai kemacetan di kawasan ini. Proyek tersebut dijadwalkan selesai pada Agustus 2017.
Karena itu, Bernie mengusulkan, Jakarta harus mempercepat mengejar ketinggalan, dengan melakukan investasi besar-besaran demi meningkatkan ketahanan.

Jakarta harus bisa merencanakan kesiagaan sama seperti New York menghadapi banjir terakhir beserta langkah-langkah perbaikannya, atau Tokyo dalam menghadapi gempa dan dampak tsunami.

"Bukan saja infrastruktur, tapi disiplin warga dalam menghadapi kerentanan juga harus dipersiapkan," tambah Bernie.

Sementara menurut Guru Besar Arsitektur Universitas Indonesia Gunawan Tjahjono, untuk menuju kota yang berketahanan, Jakarta harus inklusif.

"Jika Pak Jo mengatakan Jakarta kota yang gagal, saya tidak bisa membantah. Karena memang Jakarta saat ini belum ramah pada penduduk kota atau lapisan masyarakat tertentu yang selama ini terdampak urbanisasi," kata Gunawan.

Mau tidak mau, imbuh Gunawan, Jakarta harus mengubah dirinya. Dan Pemprov DKI Jakarta harus menciptakan konsep pembangunan yang ramah bagi semua kalangan. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com