BOGOR, KOMPAS.com - Kebanyakan rumah murah atau rumah dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dibangun oleh pengembang-pengembang kecil.
Sementara pengembang besar cenderung enggan membangun perumahan murah. Pasalnya, rata-rata margin perumahan murah hanya 10 persen.
Apalagi jika ada kredit macet, penjualan atau akad tertunda, margin bisa turun bahkan hilang sama sekali.
"Beda dengan rumah mewah, margin bisa 100-1000 persen," ujar Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo saat diskusi "Menilik Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII, Apakah Mampu Mendorong Program 1 Juta Rumah?", di Sentul City, Bogor, Sabtu (22/10/2016).
Ia mencontohkan, jika pengembang membeli kawasan seluas 1.000 hektar dengan harga tanah Rp 50.000 per meter persegi.
Setelah dibangun infrastruktur dan gerbang perumahan yang menarik, harga tanah bisa naik menjadi Rp 1 juta lebih.
Jika dikalikan dengan luas lahan tersebut, keuntungan pengembang dari harga tanah saja sudah berlipat-lipat.
Eddy menambahkan, hal tersebut menyebabkan rumah murah tidak menarik bagi para pengembang dengan modal yang besar.
Ia mengaku sering melihat pengembang besar membangun rumah untuk masyarakat berpenghasilan besar, namun ternyata bukan itu fokus utamanya.
"Misalnya tanah yang dikuasai pengembang 5.000 hektar, kalau buat rumah murah, itu bukan subsidi. Jumlahnya juga paling hanya 5 persen dari luas lahan. Setelah itu, harga naik dan lahan lain jadi untuk komersil," tutur Eddy.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.