Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dadang Sukandar SH
Praktisi Hukum

Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Aktivitas penulis saat ini sebagai praktisi hukum dan pengasuh situs www.legalakses.com

Agar Anda Tak Kehilangan Tanah Akibat Menikahi WNA

Kompas.com - 05/09/2016, 18:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com -   Prinsip nasionalitas dalam peraturan agraria di Indonesia tidak mengizinkan warga negara asing (WNA) memiliki tanah di Indonesia. Bahkan, warga negara Indonesia (WNI) yang telah melakukan perkawinan campuran dengan WNA tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, karena tanah tersebut dapat bercampur dan menjadi bagian dari harta bersama perkawinan.

Lahirnya Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 semakin mempertegas solusi agar WNI dapat memiliki tanah hak mililnya ketika melakukan perkawinan campuran dengan WNA.

Untuk mempertahankan prinsip nasionalitas agraria, Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) menentukan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

Pasal 21 UUPA menegaskan bahwa WNA yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan sejak saat berlakunya UUPA tersebut wajib melepaskan hak milik atas tanahnya itu. Begitu prinsipilnya asas nasionalitas ini, bahkan WNI yang juga memiliki kewarganegaraan lain di luar kewarganegaraan Indonesianya tidak dapat mempunyai tanah hak milik.

Penguasaan properti oleh WNA hanya dapat dilakukan dengan hak pakai, demikian seperti ditentukan dalam Pasal 42 UUPA. Hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain.

Hak pakai memberi wewenang dan kewajiban kepada WNA sebagaimana yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah. Seiring meningkatnya jumlah WNA yang bekerja dan menjalankan usahanya di Indonesia, mengakibatkan permintaan kebutuhan rumah tempat tinggal untuk WNA semakin meningkat.

Peningkatan itu membuat pemerintah semakin perlu untuk memperjelas kepemilikan properti oleh WNA sehingga pada akhir 2015 lalu dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (PP 103/2015).

PP tersebut memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi orang asing untuk memperoleh rumah tempat tinggalnya di Indonesia, yang tentu saja dengan tetap memegang prinsip nasionalitas.

Seiring meningkatnya jumlah WNA di Indonesia, hal ini juga berdampak pada meningkatnya perkawinan campuran antara WNI dan WNA.

Percampuran Dalam Harta Bersama

Menurut UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Menurut pasal tersebut, dalam perkawinan campuran seorang WNI menikah dengan seorang WNA, baik perkawinan itu dilakukan di Indonesia muapun di luar Indonesia. Dari segi kepemilikan tanah, khususnya bagi WNI, perkawinan campuran dapat mengakibatkan tanah milik WNI bercampur dalam harta bersama dengan WNA. Sebab itu, seorang WNI tidak dapat memiliki tanah dengan hak milik setelah menikah dengan WNA.

Dalam harta bersama, harta yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan tidak dikuasai oleh masing-masing suami dan istri, melainkan berada di dalam kepemilikan bersama. Dengan demikian, dalam harta bersama itu tanah hak milik yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA sehingga hal tersebut dapat melampaui batas-batas prinsip nasionalitas.

Kehilangan hak

Menurut UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Menurut pasal tersebut, dalam perkawinan campuran seorang WNI menikah dengan seorang WNA, baik perkawinan itu dilakukan di Indonesia muapun di luar Indonesia.  Dari segi kepemilikan tanah, khususnya bagi WNI, perkawinan campuran dapat mengakibatkan seorang WNI kehilangan tanah hak miliknya.

Sesuai UUPA, seorang WNI yang memiliki tanah dengan hak milik dan menikah dengan WNA, harus melepaskan tanah tersebut. Pelepasan itu dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menjual atau menghibahkannya.

Pelepasan itu harus dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak WNI memperoleh tanahnya, atau sejak WNI melakukan perkawinan campuran. Jika waktu tersebut lewat dan hak kepemilikan tanah itu tidak dilepaskan, maka hak atas tanah tadi akan hapus secara hukum dan tanahnya jatuh ke tangan negara.

Perlunya dilakukan pelepasan hak atas tanah itu terjadi karena dalam perkawinan antara WNI dan WNA terjadi percampuran harta. Tanah hak milik yang dipunyai WNI bercampur dengan harta kekayaan WNA di dalam harta bersama perkawinan.

Dalam harta bersama, harta yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan tidak dikuasai oleh masing-masing suami dan istri, melainkan berada di dalam kepemilikan bersama. Dengan demikian, dalam harta bersama itu tanah hak milik yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA sehingga hal tersebut telah melampaui batas-batas prinsip nasionalitas dan karenanya wajib dilepaskan.

Perjanjian perkawinan

Berdasarkan Pasal 3 PP 103/2015, WNI yang melaksanakan perkawinan campuran dengan WNA masih dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya yang tidak melakukan perkawinan campuran dengan WNA.

WNI tersebut masih dapat memiliki hak milik atas tanah. Bahkan, namanya masih dapat tercantum dalam sertifikat hak milik (SHM) sebagai bukti kepemilikan.

Syarat untuk tetap bisa memiliki hak atas tanah bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran adalah hak atas tanah yang dimiliki WNI tersebut haruslah bukan harta bersama.
WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA harus memisahkan hak atas tanah miliknya itu sehingga tidak masuk ke dalam harta bersama. Untuk mengeluarkannya dari harta bersama, harus dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.

Lembaga pemisahan harta bersama dalam perkawinan umumnya dikenal dengan perjanjian perkawinan atau perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement). Perjanjian perkawinan adalah perjanjian di antara calon suami-istri mengenai harta perkawinan mereka kelak setelah menikah.

Isi perjanjian itu terbatas hanya mengatur harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak  mengatur hal-hal lain di luar itu, misalnya tentang kekuasaan orang tua terhadap anak.
Dalam perjanjian perkawinan dapat ditentukan, suami dan istri dapat menguasai hartanya masing-masing dan memisahkannya dari  harta bersama. Dengan pemisahan dari harta bersama itu, maka WNA pasangannya tidak turut memiliki tanahnya.

Yang paling penting, perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat di hadapan notaris dan dicatat di lembaga pencatat perkawinan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com